TEMPO.CO, Jakarta - Sejarawan Universitas Indonesia Anhar Gonggong menyatakan, keberadaan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) seharusnya tidak perlu diperdebatkan lagi. Menurut dia, salah satu kejadian sejarah tersebut telah usai.
"Apalagi Pak Harto sudah meninggal, Bung Karno juga sudah meninggal," ujar Anhar dalam diskusi Peringatan 50 Tahun Supersemar yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, pada Sabtu, 13 Februari 2016.
Menurut Anhar, publik selalu menyangsikan keberadaan dokumen Supersemar yang asli. Namun, ia meyakini bahwa dokumen itu pasti ada. "Pasti ada. Saya melakukan berbagai observasi tentang itu. Isinya lah yang menjadi persoalan," ujarnya.
Menurut Anhar, ketika Supersemar digunakan oleh Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan PKI, Presiden RI saat itu, Soekarno, marah dan mencabut surat itu melalui surat yang dikeluarkan pada 13 Maret. "Tapi, kalau Soeharto tidak membubarkan PKI, semakin tinggi tuntutan orang untuk membubarkan itu. Siapa yang bisa menahan massa pada saat itu?"
Baca: Pembuatan KTP Anak Gratis, Biaya Ditanggung APBN
Karena itu, menurut Anhar, Supersemar bukan sekedar surat perintah yang digunakan oleh Soeharto untuk merebut kekuasaan. Supersemar, dikeluarkan melalui proses yang lama untuk mencari jalan penyelesaian. "Wajar jika menimbulkan konflik. Jadi, apanya yang perlu dijernihkan?" ujarnya.
Dengan begitu, menurut Anhar, perdebatan mengenai latar belakang dikeluarkannya Supersemar oleh Soekarno juga telah berakhir. Soekarno dan Soeharto memiliki perannya masing-masing bagi bangsa ini. "Saya nggak pernah mengartikan Soekarno dan Soeharto jelek sepenuhnya."
Anhar berujar, Supersemar bukan salah satu tonggak sejarah Indonesia. Tonggak sejarah hanya lah peristiwa pergerakan nasional 28 Oktober, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus, dan Hari Pahlawan 10 November. "Mari kita tempatkan ini sebagai peristiwa sejarah yang biasa saja."
ANGELINA ANJAR SAWITRI