TEMPO.CO, Surakarta -Perundingan yang digelar di Pengadilan Negeri Surakarta mengenai sengketa lahan Sriwedari antara Pemerintah Kota Surakarta dan ahli waris Wiryodiningrat belum mendapat titik temu. Bahkan, sengketa tersebut berpotensi menjadi lebih kompleks lantaran ada pihak yang mengaku telah membeli lahan Sriwedari dari ahli waris Wiryodiningrat.
Perundingan dengan mediasi dari pihak pengadilan itu berlangsung pada Selasa siang 13 Oktober 2015. "Belum ada titik temu dan akan dilanjutkan dua pekan lagi," kata penjabat Wali Kota Surakarta Budi Suharto yang ikut dalam pertemuan tersebut.
Menurut Budi, perundingan itu belum menemukan titik temu lantaran masing-masing pihak belum memberikan opsi atau tawaran. "Kami juga belum ada tawaran," katanya. Bahkan, dia mengaku belum memikirkan tawaran yang akan diberikan dalam perundingan dua pekan kedepan. "Kami akan melihat dulu perkembangannya," ujar Budi.
Apalagi, perundingan tersebut juga diikuti oleh pihak ketiga, Muhammad Djaril, yang mengklaim telah membeli lahan itu dari ahli waris Wiryodiningrat. "Ada dinamika baru yang mungkin bisa memberi angin segar bagi pemerintah," kata Budi.
Kuasa hukum Djaril, Heru Notonegoro mengaku kliennya pernah melakukan transaksi jual beli saat lahan masih dalam sengketa. "Keberadaan klien kami juga diakui sehingga kami ikut diundang oleh pengadilan dalam pertemuan ini," kata Heru.
Namun, kata Heru, saat ini ahli waris tidak mengakui adanya transaksi tersebut. Padahal, lanjutnya, transaksi tersebut sudah ditandatangani oleh sebelas perwakilan ahli waris. "Kami sudah mengambil langkah hukum, baik perdata maupun pidana," katanya.
Heru berharap langkah tersebut mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Kota Surakarta. "Jika kami menang, kami akan selalu berkomunikasi dengan pemerintah mengenai pemanfaatannya," katanya. Bahkan, dia berjanji akan mempertahankan Sriwedari sebagai ruang publik.
Kuasa hukum ahli waris Wiryodiningrat, Anwar Rachman membantah adanya transaksi tersebut. "Djaril pernah intervensi dalam sengketa, namun ditolak oleh hakim," katanya. Menurutnya, penolakan hakim telah membuktikan bahwa transaksi tersebut tidak pernah ada dan tidak diakui secara hukum.
Dia menyebut masuknya Djaril dalam perundingan itu sebagai hal yang wajar. "Bukan karena dia dianggap berhak," katanya. Namun, lantaran Djaril pernah masuk dalam gugatan intervensi dalam sengketa Sriwedari tersebut. "Itu sebabnya dia juga diundang oleh pengadilan," katanya.
Seperti diberitakan, sengketa antara ahli waris Wiryodiningrat dengan Pemerintah Kota Surakarta sudah berlangsung sejak 45 tahun silam. Ahli waris menggugat pemerintah yang disebut telah menguasai secara sepihak tanah yang dulunya bernama Bonraja tersebut.
Ahli waris sudah dua kali memenangkan gugatan secara perdata maupun Pengadilan Tata Usaha Negara. Hanya saja, pemerintah tidak bersedia menyerahkan lahan tersebut. Mereka akhirnya kembali mengajukan gugatan kepada pemerintah untuk mengosongkan Sriwedari. Gugatan tersebut juga dimenangkan oleh pengadilan.
Para pihak lantas bersepakat untuk berunding sebelum pengadilan melakukan eksekusi terhadap putusan tersebut. Hanya saja, hingga saat ini perundingan belum membuahkan titik temu.
Tanah Sriwedari merupakan salah satu lahan seluas 9,9 hektar yang berada di pusat kota. Di atas lahan tersebut terdapat sejumlah fasilitas publik seperti Stadion Sriwedari, Gedung Wayang Orang serta Museum Radya Pustaka.
Stadion Sriwedari juga dianggap sebagai stadion yang bersejarah lantaran digunakan sebagai penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional yang pertama.
AHMAD RAFIQ