TEMPO.CO, Jakarta - Cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, mengatakan dalam menangani kasus sengketa tanah adat, aparat kerap beralasan dan tidak melaksanakan aturan. “Jadi ini memang masalah besar di negeri ini. Ada orang yang mengatakan aturannya kan sudah ada, tinggal laksanakan semudah itu, justru ini aparatnya yang tidak mau melaksanakan aturan. Akalnya banyak sekali,” kata Mahfud dalam debat calon wakil presiden di Jakarta Convention Center atau JCC Senayan, Jakarta, Ahad, 21 Januari 2024.
Menurut Mahfud, berdasarkan rekapitulasi yang dibuat lembaganya, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, ada 2.587 kasus tanah adat. Dari ribuan kasus itu, turut terlibat masyarakat adat. Dilansir dari berbagai sumber, inilah 4 masyarakat adat yang pernah terlibat sengketa tanah:
1. Suku Balik
Masyarakat adat suku Balik merasa khawatir jika sewaktu-waktu rumahnya digusur karena terdampak pembangunan Ibu Kota Nusantara atau IKN. Di mana proyek tersebut masih menyisakan konflik agraria dengan penduduk lokal dan masyarakat adat yang lebih dulu menempati lahan yang diklaim sebagai bagian dari wilayah IKN.
Menurut laporan koran Tempo edisi 4 April 2023, berdasarkan berita acara pertemuan suku Balik Sepaku Lama dan Pemaluan, penduduk telah mendapat informasi soal adanya rencana program pembangunan bendungan intake dan normalisasi sungai di Kecamatan Sepaku. Mereka mendapat informasi bahwa penduduk yang ada diwilayah itu akan digusur.
2. Masyarakat Adat Rempang
Konflik agraria terjadi di Pulau Rempang pada 8 September 2023. Konflik disebut disebabkan oleh pengaruh sistem pengelolaan tanah di Batam yang berbeda dari wilayah di Indonesia lain.
Menurut laporan Koran Tempo edisi 11 September 2023, konflik bermula sejak hadirnya Badan pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) sebagai Otorita Batam. Otorita itu memiliki hak pengelolaan atas seluruh tanah di wilayah tersebut. Pulau Rempang menjadi salah satu pulau yang dikelola BP Batam.
Pulau Rempang kemudian hendak dikosongkan untuk membuat proyek Rempang Eco City. Pulau itu sendiri dianggap sebagai kawasan hutan meskipun dihuni oleh sekira 7.500 penduduk. Berdasarkan pendataan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), terdapat 16 kampung tua yang dihuni masyarakat adat Rempang.
3. Dayak Meratus
Masyarakat keturunan Dayak Meratus yang tinggal di sepanjang lereng Pegunungan Meratus sempat melakukan demo di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan pada April 2017. Demo diikuti sekitar 500 warga Dayak Meratus menuntut pemerintah serius membela hak-hak ulayat masyarakat adat dayak.
Mereka juga menentang penghapusan peta hutan adat di Kalimantan Selatan. Mereka juga menyuarakan 4 tuntutan, yang salah satunya mendesak pemerintah daerah menghentikan aksi perusahaan yang merampas tanah adat milik Dayak Meratus.
4. Suku Dayak Hibun
Dayak Hibun adalah subsuku Dayak di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Konflik antara masyarakat adat di wilayah Perkebunan PT MAS II di Sanggau telah berlangsung lama.
Puncak protes terjadi saat Sime Darby, perusahaan pengelola minyak sawit mentah raksasa asal Malaysia mengambil alih manajemen PT MAS pada 2007, masyarakat adat Dayak Hibun mulai membentuk gerakan perlawanan.
Namun, aksi protes warga berhadapan dengan aparat yang melakukan penangkapan. Desa Kampuh sempat seperti “kampung mati” usai masyarakat adat di sana menggelar aksi demo. Sebagian besar warga yang berdemo melarikan diri ke hutan karena takut ditangkap aparat keamanan. Lima orang ditangkap polisi, empat di antaranya dihukuman 2 tahun penjara dengan tuduhan sebagai dalang dan memprovokasi warga melawan pihak perusahaan.
ANANDA BINTANG | DIANANTA P. SUMEDI | ADIL AL HASAN
Pilihan Editor: Perbandingan Konflk Agraria di Era Jokowi dan SBY, Mana yang Lebih Parah?