TEMPO.CO, Malang - Lokasi penemuan arca Dewi Durga Mahisasuramardini tidak akan digali untuk menguji benar-tidaknya ada candi warisan Kerajaan Majapahit atau Singasari. Arca tersebut ditemukan oleh Ngatiran, 63 tahun, penduduk Jalan Mentaraman, RT 35/RW 08, Desa Jatiguwi, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang, awal September lalu. Arca temuan itu masih disimpan di markas Kepolisian Sektor Sumberpucung.
Menurut Koordinator Kelompok Kerja Perlindungan Balai Pelestarian Cagar Budaya Mojokerto Nugroho Harjo Lukito, uji penggalian di lokasi penemuan arca tidak dilakukan karena bukti-bukti di lapangan, termasuk pengamatan langsung di kantor polisi, sudah cukup untuk ditindaklanjuti dengan kegiatan analisis ikonografi.
Baca Juga:
Sebagai pembanding, candi-candi di Jawa Tengah umumnya difungsikan untuk memuja dewa-dewa. Sedangkan candi-candi di Jawa Timur difungsikan untuk pemujaan para leluhur raja-raja dalam bentuk arca perwujudan dewa. “Namun tidak diketahui raja yang dipuja tersebut. Diduga raja era Majapahit atau akhir Singasari,” kata Nugroho kepada Tempo pada Selasa kemarin, 22 September 2015.
Nugroho menuturkan dari seluruh benda temuan, tinggal potongan kaki yang dicurigai sebagai arca perwujudan. Tapi wujudnya tidak diketahui karena kondisinya sudah tidak utuh. Uji penggalian tidak dilakukan sesuai dengan aturan akademis bahwa tidak boleh mencari benda-benda yang tidak diketahui letaknya secara pasti.
Berdasarkan pengamatan terhadap bentang lahan, diduga tidak terdapat candi di Jatiguwi karena lokasi penemuannya tidak pernah mengalami dampak erupsi sebuah gunung api. Sebuah lokasi yang diduga ada candi biasanya ditandai dengan reruntuhan bangunan candi akibat erupsi sebuah gunung.
Lokasi penemuan arca hanya berupa lapisan tanah tertutup sedimentasi sebuah sungai yang terakumulasi dalam jangka waktu yang lama. Nugroho menduga di lokasi penemuan hanya ada batur altar atau alas candi (lapik) bagian pendapa sebuah bangunan untuk kegiatan pemujaan terhadap tokoh Durga. “Tinggal analisis fungsinya yang harus dilakukan, apakah murni untuk tokoh Durga saja atau ada tokoh lain,” ujar Nugroho.
Analisis ikonografi berfokus pada analisis material, langgam arca atau detail arca. Analisis langgam arca, misalnya, bertujuan untuk mengetahui apakah arca yang ditemukan sudah memenuhi persyaratan pembuatan arca Hindu, yakni hiasan apa saja yang menempel di arca. Hiasan itu berupa mahkota, gelang, kalung, upawita (tali kasta yang diselempangkan), termasuk senjata-senjata cakra dan sangka (cangkang).
Dari pengamatan benda, Nugroho membenarkan arca yang ditemukan Ngatiran adalah arca Durga di Indonesia. Acuannya, ciri utama yang umum terlihat pada acar Durga di India adalah dewa yang menunggang singa. Sedangkan arca Durga di Indonesia sangat dipengaruhi tradisi lokal dengan ciri utama sang dewa menaiki lembu atau nandi.
Dilihat dari penggambaran Dewi Durga-nya, arca di Jatiguwi identik dengan akhir masa Singosari. Durga di Jatiguwi identik dengan aliran kiri, yakni Durga yang digambarkan sedang krodha (murka). Dalam kondisi normal, itu adalah manifestasi Dewi Parwati. Sedangkan dalam kondisi marah ia menjelma menjadi Dewi Durga Mahisasuramardini. “Analisis ikonografi itu juga nantinya berkaitan dengan pemberian kompensasi pada si penemu,” kata Nugroho.
Sebelumnya, pada Rabu, 9 September 2015, Mardzuki Dwi Cahyono menyarankan kepada Balai Pelestarian Cagar Budaya Mojokerto untuk melakuan uji penggalian di lokasi penemuan arca Dewi Durga Mahisasuramardini.
Menurut arkeolog dari Universitas Negeri Malang itu, penemuan arca Dewi Durga Mahisasuramardini menambah referensi peninggalan purbakala di selatan Gunung Kawi lantaran selama ini banyak penemuan benda purbakala di tempat lainnya.
ABDI PURMONO