TEMPO Interaktif, Balikpapan - Lembaga Swadaya Masyarakat Lingkungan Telapak menuding PT Munte Waniq Jaya menyerobot 638 hektare lahan adat Suku Dayak Banuaq di Jempang, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Perusahaan sawit ini disebut menguasai lahan masyarakat tanpa persetujuan resmi para tetua Suku Dayak Banuaq.
“Mereka memanfaatkan jalur oknum warga dalam pembayaran ganti rugi lahan hutan adat,” kata Ketua Badan Pengurus Telapak, Ambrosius Ruwindrijarto, Senin, 31 Oktober 2011.
Menurut Ruwin, perusahaan sawit itu mengklaim telah mengganti rugi tanah warga sebesar Rp 445 juta. Berbekal surat kesepakatan palsu itu, PT Munte mengusir warga Dayak dengan pengerahan bulldozer serta pengamanan personil kepolisian setempat.
Ruwin mengatakan, PT Munte telah mengancam kelestarian masyarakat Suku Dayak Banuaq lewat upaya pecah-belah untuk penguasaan lahan. Padahal, masyarakat Dayak berhak atas kepemilikan kawasan hutan adat di Jempang Kutai Barat yang totalnya mencapai 5 ribu hektare.
Ruwin mewakili masyarakat Suku Dayak telah berkoordinasi dengan Kabupaten Kutai Barat dalam perumusan penyelesaiannya. Namun, masyarakat terpaksa kecewa dengan sikap pemerintah daerah yang malah membela kepentingan perusahaan.
Dalam pertemuan antar tetua adat Dayak, disimpulkan keputusan penolakan keberadaan PT Munte dalam penguasaan hutan adat di Kutai Barat. Masyarakat Dayak juga membatalkan klaim pembayaran lahan tanah adat yang sempat disampaikan PT Munte.
Sejak tahun 1970-an, kawasan hutan adat Dayak Banuaq sudah menjadi incaran sejumlah perusahaan kayu, perkebunan, hingga pertambangan batu bara. Perusahaan tersebut, menurut Telapak, sudah menguasai 50 persen kawasan hutan adat Dayak Banuaq yang dahulu seluas 5 ribu hektare.
Penggusuran kawasan hutan adat dipastikan menyengsarakan sedikitnya 200 warga Dayak Banuaq yang sepenuhnya menggantungkan mata pencarian di hutan tersebut. Warga setempat siap mempertahankan kepemilikan area hutan adatnya meski harus berhadapan dengan aparat keamanan serta PT Munte.
Telapak mendesak pemerintah menjaga kerukunan warga Dayak Benuaq yang kini terpecah-belah dengan hadirnya perusahaan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan.
Petrus Asuy, warga setempat, mengatakan hutan adat masyarakat Dayak sudah berganti jadi kebun sawit serta tambang batu bara. Kerukunan masyarakat Adat juga terganggu sejak kedatangan perusahaan perkebunan dan tambang batu bara. “Hutan dan kebun kami habis, hubungan keluarga, kesepakatan dan persatuan pun terpecah-belah. Kini warga Dayak telah bersitegang dan diadu-domba satu sama lain,” katanya.
Menanggapi tudingan Telapak, Manager PT Munte, Mathias menyatakan, LSM Telapak telah memperkeruh permasalahan ganti rugi lahan antara perusahaan dengan warga setempat.
“Apa LSM bisa bikin kita hidup. Cari saja informasi dari mereka, saya tidak mau melayani,” katanya.
Adapun Bupati Kutai Barat, Ismael Thomas, belum bisa dihubungi.
SG WIBISONO