TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi menolak permohonan provisi atau putusan sela. Provisi itu terkait dengan gugatan uji materi terhadap hak angket yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Hakim konstitusi Anwar Usman mengatakan proses pengambilan putusan permohonan provisi dilakukan dengan voting (suara terbanyak). Voting dilakukan karena ada empat hakim yang menolak dan empat hakim mengabulkan. "Mufakat tidak tercapai meskipun telah dilakukan sungguh-sungguh," kata Anwar dalam sidang uji materi UU MD3, Jakarta, Rabu, 13 September 2017.
Baca juga: Jimly Minta Pansus Hak Angket KPK Tunggu Putusan MK
Berdasarkan Pasal 45 Ayat 8 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, lanjutnya, bila tidak tercapai suara terbanyak maka suara terakhir, yaitu ketua sidang pleno yang menentukan. "Arief Hidayat (ketua sidang pleno) termasuk empat hakim konstitusi yang berpendapat menolak putusan provisi. Permohonan putusan provisi dinyatakan ditolak," kata Anwar.
Seperti diberitakan, pemohon uji materi pasal hak angket sempat meminta majelis untuk menerbitkan putusan provisi. Salah satu pemohon yang meminta penerbitan putusan sela ialah Tim Advokasi Selamatkan Komisi Pemberantasan Korupsi dari Angket DPR.
Dengan tidak adanya putusan sela, Panitia Khusus Hak Angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi ( Pansus Angket KPK) tetap bisa menjalankan tugasnya.
Baca juga: Datangi Gedung KPK, Masinton Bawa Koper dan Minta Ditangkap
Dari penjelasan Hakim Anwar, empat hakim konstitusi yang menolak permohonan provisi ialah Arief Hidayat, Anwar Usman, Aswanto dan Wahiduddin Adams. Sementara empat hakim yang mengabulkan ialah I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Manahan Sitompul, dan Maria Farida. Satu hakim konstitusi lainnya, yaitu Saldi Isra tidak hadir dalam sidang pleno karena tengah menjalankan ibadah haji pada Rabu, 6 September lalu.
Mahkamah Konstitusi kembali melanjutkan sidang uji materi UU MD3 pada Rabu 13 September 2017. Agenda sidang kali ini ialah mendengarkan keterangan ahli dari para pemohon. Salah satu ahli yang dihadirkan ialah Zainal Arifin. Ia adalah Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM).
ADITYA BUDIMAN