TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto enggan berkomentar ihwal pemberitaan soal pengajar dan siswa Pesantren Ibnu Mas'ud terlibat jaringan Negara Islam Irak Suriah (ISIS). Ia sudah menjelaskan hal itu berkali-kali kepada publik dan menolak berkomentar lagi. "Masak harus saya jelaskan lagi," ucapnya di Jakarta, Jumat, 8 September 2017.
Dalam berbagai kesempatan, Wiranto kerap menyampaikan soal ancaman terhadap Indonesia. Seperti ketika hadir dalam acara pelantikan pengurus Ikatan Alumni Universitas Negeri Jakarta. Mantan Panglima TNI di era reformasi itu menyatakan terorisme merupakan ancaman nontradisional yang dihadapi banyak negara.
Baca juga: Pengajar dan Siswa Pesantren Ibnu Mas'ud Terlibat Jaringan ISIS
Aturan tentang tindak pidana terorisme dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, menurut dia, dianggap sudah tidak relevan dengan situasi saat ini. Karena itu, revisi terhadap undang-undang tersebut amat diperlukan. "Jangan sampai aparat melawan teroris dengan tangan terikat (tidak ada aturan yang kuat)," tuturnya di Gedung Bung Hatta Universitas Negeri Jakarta.
Menurut dia, undang-undang saat ini tidak bisa mencegah terjadinya aksi terorisme. Padahal dalam beberapa kasus aparat dinilai punya cukup bukti untuk memeriksa seseorang yang berpotensi melakukan tindak terorisme.
Sebelumnya, diberitakan sejumlah pengajar dan siswa Pesantren Ibnu Mas'ud di kaki Gunung Salak di Desa Sukajaya, Tamansari, Bogor, diduga telah diterbangkan ke Suriah guna bertempur dan menjadi martir untuk ISIS.
Juru bicara Pesantren Ibnu Mas'ud, Jumadi, membantah lembaga pendidikannya mendukung ISIS atau kelompok milisi Islam lain. Dia juga membantah pesantren tersebut mengajarkan tentang interpretasi Islam secara ekstrem.
Sedangkan menanggapi warga negara Indonesia yang bergabung dengan ISIS, Wiranto menyatakan sudah ada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menangani. Menurut dia, BNPT sudah melakukan persiapan penuh dalam pencegahan.
Sebelumnya, pendiri Partai Hanura itu menekankan penangkalan radikalisasi bisa dilakukan lewat edukasi khusus. "Kami hapus pola pikir ISIS dan itu berhasil untuk kategori masyarakat biasa. Untuk tokoh-tokoh yang keras, diberikan perlakuan khusus," kata Wiranto.
ADITYA BUDIMAN | YOHANES PASKALIS