TEMPO.CO, Jakarta - Usaha menonjolkan peran perempuan kerap dilakukan Perguruan Diniyyah Puteri, Padang Panjang, Sumatera Barat. Sejak berdiri pada 1923, pesantren itu sudah berupaya menjadi wadah bagi para perempuan memperoleh kesempatan yang sama dengan laki-laki. Sebab, di masa itu perempuan hanya dianggap sebagai pendamping laki-laki, sehingga tak perlu bersekolah tinggi.
Pandangan itulah yang didobrak pesantren perempuan tersebut. "Ini perjuangan perempuan untuk bisa setara dengan laki-laki," kata Kepala pesantren Fauziah Fauzan El Muhammadiy.
Baca juga:
Mensos Minta Pesantren Sumbang Lebih Banyak Energi Positif
Kesetaraan gender kemudian menjadi salah satu materi wajib di Perguruan Diniyyah Puteri. Melalui kurikulum berbasis Al-Quran dan hadis, pesantren itu mengajarkan materi tersebut kepada lebih dari 1.000 santrinya. Menurut Fauziah, pengajaran materi itu berpedoman pada Al-Quran, khususnya Surat An-Nahl ayat 97. Ayat itu menjelaskan setiap orang yang berbuat kebaikan, laki-laki atau perempuan, akan diganjar pahala dan kehidupan lebih baik. "Itu menjelaskan perempuan dan laki-laki sama kedudukannya di hadapan Allah," kata dia.
Perguruan Diniyyah Puteri melakukan model pendataan itu sejak 2008. Mereka menyebutnya program My Big Dream. Fauziah mengatakan pendataan mimpi para santri bertujuan menyiapkan generasi masa depan. "Ini membuat santriwati mengetahui tujuan mereka ke depan," kata Fauziah. Salah satu arsip berupa data mengenai potret masa depan santri di pesantren perempuan ini. Data yang ditulis saat santri masuk ke pesantren itu berisi target yang ingin mereka capai.
Kisah beberapa pesantren putri dan perjuangannya mengajarkan kesetaraan gender, emansipasi, dan keberagaman lebih lengkap dapat dibaca di Majalah Tempo edisi 26 Juni 2017.
Prihandoko, Andri El Faruqi (Padang), Nofika Dian Nugroho (Ngawi), Ivansyah (Cirebon), Eko Widianto (Malang)