TEMPO.CO, Jakarta - Dosen dari Universitas Nasional Australia (ANU), Profesor Marcus Mietzner mengkhawatirkan penggunaan isu agama dan komunisme akan digunakan dalam pemilihan presiden 2019. Dalam kasus pilkada DKI 2017, ia mengatakan penggunaan isu agama telah menyingkirkan calon Gubernur inkumben Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
"Saya menduga isu agama, isu komunisme dan isu politik identitas akan ada pada pemilihan presiden mendatang," kata Marcus dalam sebuah diskusi kritis di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Sabtu, 22 April 2017.
Dalam kasus Ahok, kata Marcus, persoalan agama menjadi penentu kemenangan. Apalagi ditambah Ahok dituding telah menistakan agama. Tanpa kasus itu pun, peta politik warga Jakarta: 40 persen warga adalah orang konservatif yang memilih pemimpin muslim dan ada 35 persen pemilih adalah orang pluralistik. Sisanya, lebih banyak terpengaruh kasus penistaan agama dan gaya kepemimpinan Ahok.
Baca: Penyebab Ahok Kalah versi Dua Peneliti Australia
Menurut dia, kasus kekalahan Ahok agak unik di Indonesia. Mengingat, selama ini tidak ada calon inkumben kalah saat memiliki tingkat kepuasan di atas 60 persen. "Ini (Ahok) tingkat kepuasannya 74 persen dan dia kalah?"
Marcus menambahkan bahwa isu agama dan politik identitas sudah lama digunakan dalam pemilu di Indonesia. Pada Pilkada DKI Jakarta 2012, Marcus juga mendapati upaya tim Fauzi Bowo menggunakan isu agama. Namun isu itu bisa diredam karena Ahok kala itu hanya wakil gubernur.
Dosen sekaligus peneliti dari Murdoch University, Dr. Ian Wilson menganggap bahwa kekalahan Ahok tidak terlepas dari peran rakyat kecil Jakarta. Menurut dia, sebagian besar rakyat kecil Jakarta tak menyukai gaya bicara dan penggusuran yang dilakukan dengan cara sewenang-wenang.
Baca: Anies-Sandi Menangi Pilkada DKI, PolMark: Suara Ahok-Djarot Macet
"Awalnya ada antusiasme warga miskin kota terhadap Jokowi (ketika menjabat Gubernur DKI Jakarta), namun kemudian ada pergeseran dengan kepemimpinan Ahok," kata Ian . "Mereka tidak suka dengan gaya bicaranya."
Menurut Ian, pada saat kepemimpinan Jokowi, warga Jakarta tak begitu mempermasalahkan Ahok. Alasannya, karena Jokowi lebih banyak merangkul masyarakat kecil, meski sama-sama melakukan penggusuran. Bedanya, penggusuran yang dilakukan Jokowi dianggap lebih santun.
Setelah Ahok memimpin menggantikan Jokowi, masyarakat kelas bawah diperkirakan kecewa dengan kesewenang-wenangan Ahok. Sebagian besar masyarakat menganggap gaya komunikasi Ahok yang sering diperdebatkan dan menimbulkan masalah. Namun sebagian besar warga Jakarta sepakat bahwa kinerja Ahok sangat bagus.
Baca: Rachel Maryam: Rekonsiliasi Jadi Prioritas 100 Hari Anies-Sandi
"Sebagai gubernur dia oke, tapi masyarakat tidak suka gaya bicaranya," ucap Ian. Masyarakat kemudian menganggap kasus penistaan agama sebagai puncak kegelisahan. Mereka menganggap Ahok sering melontarkan pernyataan tanpa terlebih dulu dipikirkan.
Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh kelompok konservatif seperti Front Pembela Islam (FPI) masuk mewakili aspirasi masyarakat. Padahal kata dia, banyak orang yang benci dengan FPI. Ia telah lebih dari 10 tahun meneliti perkembangan FPI di Indonesia. "Banyak orang benci FPI, tapi satu hal yang patut digarisbawahi: mereka ada di kampung-kampung, mereka mendampingi kaum miskin."
Makanya Ian tak kaget jika melihat hasil Pilkada DKI Jakarta yang menyatakan Ahok kalah atas pesaingnya Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Apalagi bagi korban penggusuran, mereka tidak ingin Ahok memimpin Jakarta lagi. Dari catatan dia, ada sekitar 50 ribu warga Jakarta yang jadi korban penggusuran Ahok. Dia memprediksikan kritik ini kemudian meluas di kalangan kelas bawah Jakarta dan ditambah kasus penistaan agama.
AVIT HIDAYAT