TEMPO.CO, Jakarta - Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) menuntut DPR untuk melibatkan buruh dalam setiap pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. “Jangan bicara tentang kami tanpa kami karena kami buruh bukan budak,” kata Koordinator JBMI di Hong Kong & Macau, Sringatin, seperti dilansir sesuai keterangan tertulis, Ahad, 19 Februari 2017.
Ia mengatakan proses revisi beleid tersebut tidak pernah melalui proses musyawarah dan dialog terbuka dengan berbagai organisasi buruh migran dan lembaga pendukungnya. Tidak hanya revisi tersebut, namun buruh migran juga tidak dilibatkan dalam pembahasan aturan lainnya termasuk moratorium dan program roadmap 2017 yang disebut dapat melindungi dan menyelesaikan persoalan buruh migran.
Baca juga:
TKI di Hong Kong, Fahri Hamzah:Antar Instansi Tumpang-Tindih
Peneliti UGM: Pola Perekrutan Buruh Migran Mirip Kerja ...
Menurut Sringatin, banyak peraturan dan terobosan yang diciptakan pemerintah namun tidak ada satu pun yang terbukti dapat memecahkan persoalan buruh migran. “Karena bagi pemerintah Indonesia, hakikatnya buruh migran hanyalah objek yang tidak punya hak menentukan nasibnya sendiri dan hanya dijadikan sumber pendapatan devisa negara,” kata dia.
Sringatin berharap keterlibatan buruh migran bisa membuat pemerintah tidak lagi memperlakukan buruh migran sebagai objek pembangunan, sumber pendapatan devisa negara dan solusi singkat untuk mengatasi kemiskinan. Ia pun menuntut revisi beleid harus mengakui dan menjamin hak dasar buruh migran sebagai pekerja dan anggota keluarganya seperti yang tertulis di dalam Konvensi PBB 1990, Konvensi ILO 188 dan 189.
Baca pula: Menteri Hanif: TKI Harus Punya Skill
Salah satu poinnya adalah menghentikan kewajiban buruh migran untuk diproses PJTKI atau agen sementara. "Selama ini pengalaman buruh migran dengan lembaga ini justru lebih merugikan dan memperbudak," kata dia.
Ia mengatakan revisi juga harus menjamin hak libur bagi seluruh buruh migran di luar negeri, menciptakan standarisasi kontrak kerja yang diakui di dalam dan diluar negeri, serta menjamin hak buruh migran menuntut PJTKI yang melakukan pelanggaran. Selain itu, buruh migran harus dipastikan mendapat hak menuntut ganti rugi bagi buruh migran yang menjadi korban pelanggaran PJTKI. Revisi juga harus dipastikan bisa melindungi dan menjamin hak asasi manusia buruh migran tidak berdokumen.
JBMI juga menuntut pengakuan terhadap organisasi dan serikat buruh migran di dalam revisi undang-undang tersebut dan peraturan lain yang berkaitan dengan buruh migran. Ia mengatakan partisipasi dan hak buruh migran akan lebih terjamin dengan pengakuan tersebut.
Sringatin mengatakan JMBI juga menuntut sebuah dialog yang membahas kebijakan tentang buruh migran dan anggota keluarganya. Melalui dialog ini, ia berharap tidak ada lagi pemahaman yang keliru terhadap buruh migran seperti yang dilakukan oleh Ketua Tim Pengawasan TKI, Fahri Hamzah.
Beberapa waktu lalu, Fahri sempat menuliskan pernyataan mengenai buruh migran di akun Twitternya. "Anak bangsa mengemis menjadi babu di negeri orang dan pekerja asing merajalela," tulis di akun Twitternya, @Fahrihamzah.
Sringatin mengatakan tindakan Fahri Hamzah menunjukkan indikasi bahwa para pembuat kebijakan di DPR RI, khususnya tim pengawas TKI, tidak memahami realitas kondisi buruh migran. Ia menilai mereka memiliki prasangka yang merendahkan buruh migran, khususnya pekerja rumah tangga yang rentan kekerasan.
Menurut dia, tim Pengawas TKI DPR pimpinan Fahri Hamzah telah datang ke Hong Kong untuk berdialog dengan organisasi-organisasi buruh migran. Mereka ingin mendengar dan mencari masukan terkait revisi undang-undang nomor 39 tahun 2004. Sringatin berharap kedatangan mereka kali ini tidak hanya formalitas atas respon terhadap protes yang kami sampaikan beberapa waktu lalu.
"Sudah waktunya, DPR RI selaku perwakilan rakyat melibatkan buruh migran secara langsung dalam pembuatan kebijakan yang bersangkutan dengan kepentingan buruh migran," kata dia.
VINDRY FLORENTIN
Simak: Punya Pertanyaan untuk Presiden, Ikuti #JokowiMenjawab