TEMPO.CO, Yogyakarta - Kasus penistaan agama, tudingan kafir, juga tindakan anarkis yang dilatarbelakangi intoleransi di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Yogyakarta, terjadi karena bangsa Indonesia memahami Pancasila secara sempit. Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Achmad Munjid mengatakan pembahasan Pancasila hanya berhenti pada sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Orang disibukan hanya pada sila pertama. Lupa kalau ada kemanusian, persatuan, kerakyatan, juga keadilan sosial,” kata Munjid dalam Seminar Dies Natalis Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) ke-67 bertema “Berdamailah dengan Semua Ciptaan” di auditorium Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta, Kamis, 9 Februari 2017.
Baca juga:
5 Tokoh Dunia yang Pernah Dirisak di Media Sosial
Kronologi Pindahnya Dukungan PKB dari Agus ke Anies-Sandi
Padahal persoalan bangsa tidak hanya berkaitan dengan keyakinan dan kepercayaan saja. Akibatnya, Munjid melanjutkan, orang gemar menggugat dengan menggunakan pasal-pasal penistaan agama apabila orang lain dinilai berseberangan dengan agamanya. Padahal pasal tersebut merupakan pasal plastik yang mudah ditekuk berdasarkan kepentingan pihak yang berkuasa.
Wajah agama di Indonesia pun dinilai mengeras karena agama digunakan menjadi alat melegitimasi kepentingan tertentu. Semestinya, menurut Munjid, agama berfungsi sebagai kritik sosial. Salah satunya dengan menempatkan Pancasila secara inklusif, bukan eksklusif.
"Bahkan tudingan kafir seharusnya tak ada di negeri yang bukan negara agama. Karena ini negara berdasar hukum,” kata Munjid.
Aktivis Jaringan Islam Muda Muhammadiyah Subkhi Ridho berpendapat, Pancasila perlu kembali digaungkan misalnya dengan kembali mengajarkannya kepada generasi muda. Caranya, menggunakan strategi baru dengan mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila melalui media sosial.
“Selama ini, anak-anak muda alergi pada Pancasila. Karena cara guru atau dosen mengajar itu out of date alias kuno,” kata Subkhi yang juga dosen mata kuliah kewargaan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Sementara tokoh GMKI Pusat Firman Jaya Daeli mengusulkan membumikan Pancasila tidak dilakukan dengan pemaksaan. Melainkan dengan cara kulturisasi, sistemastisasi, dan aktualisasi Pancasila. “Pancasila bukan seremonial belaka,” ucapnya.
Baca juga:
Kasus Rizieq, Setelah Hina Pancasila lalu 'Campur Racun'
Rais Aam PBNU Instruksikan Nahdliyin Tak Ikut Demo 112
Dalam diskusi yang batal dihadiri Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo itu, peserta meminta Kementerian Dalam Negeri membuat regulasi yang memudahkan pembumian Pancasila untuk mencegah intoleransi berkembang. Direktur Direktorat Bina Ideologi, Karakter dan Wawasan Kebangsaan Kemendagri Prabawa Eka Susanta membeberkan Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan kepada tiga kementerian koordinator. Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan diminta memperkokoh revolusi mental.
“Biar energi bangsa tidak habis mengurusi aksi-aksi beberapa bulan ini,” kata Prabawa.
Kemudian Kemenko Maritim diminta memantapkan ideologi Pancasila dengan melibatkan sembilan tokoh bangsa. Salah satunya, mantan Presiden BJ Habbibie disebut pernah diajak diskusi soal itu. Juga Kemenko Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia diinstruksikan memperkokoh bela negara dengan mengidentifikasi persoalan perebutan sumber daya alam. Selain itu, pemerintah pusat juga membuat nota kesepahaman dengan berbagai perguruan tinggi yang mempunyai program studi ilmu komunikasi.
“Pemerintah kelabakan menghadapi media sosial yang tak terkendali. Sedangkan kemampuan literasi publik lemah,” kata Prabawa.
PITO AGUSTIN RUDIANA