TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhammad Zaitun Rasmin menampik bahwa unjuk bela Islam yang sudah dua kali berlangsung memiliki muatan politis. Dalam unjuk rasa itu, massa menuntut pengusutan dugaan penistaan agama yang dilakukan calon Gubernur DKI Jakarta inkumben Basuki Tjahaja Purnama.
Zaitun menyebut pemikiran tersebut muncul karena kasus yang bermula dari komentar Ahok, sapaan Basuki, mengenai salah satu ayat Al-Quran itu bertepatan dengan momen Pemilihan Kepala Daerah 2017.
"Pemikiran itu sulit dihindari karena kejadiannya di masa-masa ini (pilkada)," kata Zaitun dalam diskusi bertema “Ahok Effect” di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 19 November 2016.
Menurut Zaitun, masyarakat menuntut penegakan hukum. Pasalnya, muncul anggapan bahwa kasus tersebut diintervensi sehingga pengusutannya berjalan lambat dan tak sesuai prosedur. "Dan ini bukan karena agama atau etnisnya."
Baca Juga: Ahok Bicara Soal Demonstran 4 November Dibayar Rp 500 Ribu
Zaitun menambahkan, kasus Ahok mencuat karena kurangnya sikap mawas diri. Ia mencontohkan pernyataan Ahok ihwal demonstran yang dibayar untuk mengikuti unjuk rasa. "Satu hari setelah ditetapkan (tersangka), sudah ngomong lagi," ujarnya.
Menurut Zaitun, wajar jika banyak pihak yang ingin Ahok ditahan agar dapat menahan diri dalam berbicara. "Kalau ditahan kan tak ada wawancara sebagainya."
Anggota tim sukses dan relawan pasangan Ahok-Djarot Saiful Hidayat, Ivan Hoe Semen, meyakini tak ada niat negatif dalam setiap ucapan Ahok. "Saya yakin dalam hatinya tak ada niatan," tuturnya.
Simak: Wiranto Ancam Tindak Tegas Demo 2 Desember jika Melenceng
Ivan Hoe mengatakan pihaknya masih akan terus turun ke masyarakat dalam rangka kampanye. "Pak Ahok tetap bertemu masyarakat agar semua tahu soal kerja nyatanya. Beliau terus sosialisasikan program yang sudah ada."
YOHANES PASKALIS