TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah dianggap melakukan persekongkolan jahat dengan industri rokok. “Persekongkolan jahat ini bahkan mengesampingkan pelibatan partisipasi masyarakat demi kepentingan industri rokok,” kata Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Julius Ibrani di Jakarta, Senin, 15 Agustus 2016.
Julius menuturkan salah satu persyaratan terciptanya good governance pada pemerintahan. Padahal setiap warga negara mendapat kepastian hukum dengan Pasal 28 UUD 1945 tentang kemerdekaan berpendapat. Namun, kata Julius, jaminan kemerdekaan berpendapat ini diabaikan.
Selain itu, hak ekonomi, sosial, dan budaya yang mengikat pemerintah dua di antaranya adalah memberikan hak kesehatan bagi rakyat dan hak berpartisipasi. “Partisipasi publik untuk membuat norma hukum dengan membuat aturan iklan rokok dan kawasan tanpa asap diabaikan,” ucapnya.
Sebelumnya, Widyastuti Soerojo, Ketua Badan Khusus Pengendalian Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), menjelaskan, selama dua tahun berturut-turut pada 2014 dan 2015, dalam indeks campur tangan industri produk tembakau di tujuh negara ASEAN, Indonesia menempati posisi tertinggi.
“Pada 2014, indeksnya 78 dan meningkat menjadi 82 pada 2015,” tuturnya dalam refleksi “Kemerdekaan Indonesia dari Campur Tangan Industri Rokok” di Jakarta, Senin, 15 Agustus 2016. “Kita ini paling memble dibandingkan Brunei, Thailand, Laos, Kamboja, Filipina, dan Malaysia.”
Dalam indeks itu, Brunei menjadi negara dengan intervensi industri rokok paling rendah. Pada 2014 dan 2015, indeks campur tangan industri rokok di Brunei tetap pada angka 29 persen. Indeks intervensi industri rokok yang kuat setelah Indonesia adalah Malaysia. Pada 2014, indeks di negara tetangga itu sebesar 72 persen dan menurun menjadi 69 persen setahun kemudian.
ISTIQOMATUL HAYATI