TEMPO.CO, Jakarta - Program Director Indonesia Institute for Social Development atau IISD Ahmad Fanani menanggapi soal penyusunan Rancangan Undang-Undang atau RUU Kesehatan. Menurut dia, seharusnya penyusunan aturan itu menjadi momentum untuk menguatkan regulasi dalam pengendalian tembakau yang gagal mengeliminasi darurat perokok dan berbagai dampak yang diakibatkannya.
“Draft RUU dan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) yang diserahkan pemerintah kepada DPR RI menunjukkan pemerintah nampak tak punya cukup komitmen untuk memperkuat otot-otot regulasi, justru tampak retardasi (pelemahan) dalam beberapa pasal,” ujar dia lewat keterangan tertulis pada Senin, 22 Mei 2023.
Dalam draft RUU, muatan pengaturan pengendalian tembakau terdapat pada Bab 25 tentang Pengamanan Zat Adiktif, dari pasal 154 hingga 157. Pelemahan regulasi antara lain terdapat dalam pengaturan mengenai Peringatan Kesehatan Bergambar, Kawasan Tanpa Rokok (KTR), dan Ketiadaan muatan aturan terkait Iklan, Promosi dan Sponsor.
Soal KTR, ayat (3) Pasal 157 secara imperatif mewajibkan penyediaan tempat khusus untuk merokok di wilayah KTR. Ahmad menilai hal itu merupakan kemunduran mengingat dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 115, tidak ada klausul yang mewajibkan penyediaan tempat khusus merokok di wilayah KTR.
“Keberadaan ruang khusus untuk merokok tidak pernah menjamin sterilnya udara ambien di ruang KTR tersebut benar-benar bersih,” kata dia.
Baca Juga:
Selain itu, menurut Ahmad, yang perlu dicatat bahwa KTR juga dimaksudkan sebagai wahana pendidikan bagi perokok untuk secara bertahap berusaha menghentikan kebiasaannya yang merusak sistem sosial, ekonomi, dan kesehatan masyarakat.
Hal lain yang patut dicemaskan adalah ketiadaan pasal yang mengatur Iklan, Promosi, dan Sponsor (IPS). Padahal, Ahmad berujar, merujuk dokumen Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Indonesia tercatat sebagai negara yang paling lemah dalam pengaturan larangan IPS.
“Sampai hari ini, bahkan tak ada satupun regulasi yang mengatur IPS rokok di media Internet,” tutur Ahmad.
Dia menjelaskan berbagai evidensi menunjukkan iklan, promosi, dan sponsor adalah salah satu faktor yang mempunyai pengaruh signifikan menstimulasi perokok. Dalam riset IISD bersama IPM, 93,65 persen pelajar mengaku terpapar iklan rokok dan 71 persen Perokok Pelajar menyatakan bahwa iklan rokok itu kreatif/i nspiratif, menstimulasi mereka untuk mencoba rokok.
Upaya pelarangan IPS juga terganjal ketentuan iklan produk tembakau dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dengan metode Omnibus Law yang mempunyai kekuatan untuk mengubah ketentuan dalam UU lain, kata Ahmad, penyusunan UU Kesehatan merupakan momentum untuk menguatkan regulasi dengan menetapkan larangan IPS.
“Yang bisa diwujudkan cukup dengan mencabut Pasal 13 huruf (c) UU Pers dan Pasal 46 Ayat 3 huruf (c) UU Penyiaran,” kata Ahmad.
Pilihan Editor: Lintasan Waktu Rokok Linting, Tingwe dan Kerabatnya