TEMPO.CO, Mojokerto - Proyek pembangunan desa di Kabupaten Mojokerto yang didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam bentuk bantuan keuangan desa (BK Desa) dinilai banyak yang melanggar aturan.
“Mulai dugaan pelanggaran administrasi pelaksanaan kegiatan hingga dugaan kolusi dan korupsi di dalamnya,” ujar Ketua Front Komunitas Indonesia Satu (FKI-1) Kabupaten Mojokerto Wiwid Haryono, Kamis, 4 Agustus 2016.
Pelanggaran administrasi, kata dia, tampak dalam pelaksanaan pembangunan desa dengan dana puluhan miliar itu, yakni petugas tak mengindahkan aturan. “Misalnya, Peraturan Bupati tentang Bantuan Keuangan Desa belum terbit tapi sudah ada kegiatan pembangunan,” katanya.
Wiwid juga menyoroti dugaan kolusi dan korupsi di setiap proyek pembangunan desa. “Ada dugaan pengkondisian proyek sampai penggelembungan harga pengadaan jasa dan barang yang tidak sesuai dengan standar harga,” katanya.
Kolusi dan korupsi itu, menurut dia, melibatkan kelompok usaha milik keluarga dan kroni Bupati Mojokerto. Proyek yang semestinya harus melalui lelang, dalam prakteknya tidak dilelang. “Hampir semua material dan jasa proyek jalan, misalnya, diarahkan mengambil dari kelompok usaha tersebut,” ujarnya.
Sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, kata Wiwid, proyek yang didanai bantuan keuangan desa boleh dikerjakan dengan menggandeng pihak ketiga atau dikerjakan secara swakelola. Jika jenis pekerjaan tersebut butuh teknologi tinggi dan menelan dana minimal Rp 200 juta, harus dilakukan lelang dan menggandeng pihak ketiga.
Sebaliknya, jika pekerjaan tidak membutuhkan teknologi tinggi, pengerjaan bisa dilakukan mandiri oleh masyarakat. “Namun kenyataannya, ada desa yang mendapat dana sampai miliaran rupiah tapi proyeknya dilakukan secara swakelola,” ujar Wiwid.
Ujung-ujungnya, kata dia, desa tersebut diarahkan menggunakan jasa kelompok usaha dari keluarga dan kroni bupati. Modus yang dimainkan dari tahun ke tahun, menurut Wiwid, sebenarnya sama. “Sayangnya, aparat penegak hukum tak tuntas mengusutnya,” katanya.
Pada 2014, Kejaksaan Negeri Mojokerto pernah menyelidiki korupsi bantuan keuangan desa 2013 berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun, kasus yang semula diusut sebagai pidana korupsi itu, tiba-tiba diubah menjadi urusan perdata dan administrasi tata usaha negara yang kelebihan pembayarannya cukup dikembalikan ke kas daerah.
Tahun ini Kepolisian Resor Mojokerto juga mengusut penggunaan dana pembangunan desa, baik yang bersumber dari APBD kabupaten dan provinsi maupun APBN. Namun hingga kini belum ada progres penyelidikan. Padahal sekitar 15 kepala desa dan perangkat desa terkait sudah diperiksa.
“Harus dipilah-pilah dan dilihat apakah ada dobel anggaran, pelanggaran administrasi, atau sampai ke pidana,” kata seorang penyidik yang enggan disebutkan namanya.
Bupati Mojokerto belum dimintai konfirmasi terkait tuduhan ini.
ISHOMUDDIN