TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat hukum pidana, Ferdinand Montororing, menilai Undang-Undang Terorisme belum secara khusus mengatur skema pertahanan negara. Menurut dia, dalam UU Terorisme lebih mengedepankan pendekatan penegakan hukum.
"Ke depan yang penting itu bagaimana aparat bisa mencegah terorisme," kata Ferdinand di Jakarta, Sabtu, 9 Juli 2016. Hal itu disampaikannya dalam diskusi Membangun Sinergi Menangkal Gerakan Kelompok Terorisme.
Ia mencontohkan, Malaysia melalui undang-undang security act dianggap cukup sukses mencegah aksi terorisme. Dalam proses penegakan hukumnya, kata Ferdinand, tidak ada isu pelanggaran hak asasi manusia di tengah upaya pencegahan terorisme.
"Malaysia bisa tahan pelaku yang diduga selama sebulan tapi tidak ada isu pelanggaran HAM," ucapnya. Oleh sebab itu, Ferdinand meminta kepada DPR yang sedang membahas revisi UU Terorisme agar isi undang-undang yang baru lebih mengedepankan pertahanan negara.
Ke depan, kata dia, aparat keamanan mesti menaruh perhatian kepada pelaksanaan pemilihan umum 2018. Ferdinand memprediksi suhu politik pada 2018 akan memanas. Ia berharap situasi itu tidak dimanfaatkan oleh aksi terorisme.
Selain itu, ia menambahkan, pemerintah sebaiknya terlibat dalam upaya pemberantasan terorisme. Sebagai anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) bisa mengambil peran. "Bila perlu membantu lewat aksi militer," kata Ferdinand, yang menjabat sebagai Ketua Umum Generasi Baru Persatuan Indonesia (GB-Perindo).
ADITYA BUDIMAN