TEMPO.CO, Jakarta - Komnas Perempuan meminta pemerintah dan DPR untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Perlindungan Pembantu Rumah Tangga (PRT) dan meratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) tentang kerja layak bagi PRT. Hal ini disampaikan dalam rangka memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga Internasional yang dirayakan setiap 16 Juni.
“Ratifikasi dan RUU tersebut diharapkan menjadi payung hukum dan memberikan kepastian hukum untuk mengakui PRT sebagai pekerja,” ujar Ketua Gugus Kerja Pekerja Migran Sri Nurherwati, dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 16 Juni 2016.
Selain itu, ratifikasi dan RUU juga diharapkan dapat menciptakan situasi kerja yang layak dan menguntungkan PRT maupun pihak pemberi kerja/majikan. Sri mengatakan pihaknya juga meminta aparat penegak hukum untuk mengusut dan memproses kasus-kasus penyiksaan dan penganiayaan PRT yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, hingga selesai.
Sri meminta seluruh pihak dapat mendukung RUU Perlindungan PRT dan meratifikasi Konvensi ILO 189 sebagai perwujudan komitmen masyarakat Indonesia terhadap penegakan HAM. Menurut Sri, pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga berjalan sangat lambat, bahkan sempat tidak menjadi prioritas pembahasan di DPR RI.
Sedangkan, inisiatif untuk menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, kata Sri, juga tidak diimplementasikan. “Sebab substansi yang tidak cukup menjawab kebutuhan perlindungan dan pengakuan bagi PRT,” kata Sri. Pada saat yang sama, ungkap Sri, muncul kebijakan baru Peta Jalan Nol Pekerja Rumah Tangga pada tahun 2017 (Zero Domestic Workers 2017) dalam penempatan buruh migran Indonesia ke luar negeri. “Justru berpotensi mendiskriminasi pekerja dan pekerjaan rumah tangga.”
Peta Jalan Nol Pekerja Rumah Tangga migran ini, menurut Sri, berpotensi menjadi masalah baru, sebab menghambat warga untuk bekerja ke luar negeri. Padahal persoalan-persoalan yang mendorong terjadinya migrasi yaitu kemiskinan belum dapat diselesaikan. Tak hanya itu, kebijakan itu juga bertentangan dengan standar internasional yang sudah mengakui dan melindungi pekerja rumah tangga sebagaimana pekerja lain. “Kasus kekerasan, eksploitasi, dan perselisihan kerja yang dialami PRT semakin meningkat,” ujarnya.
GHOIDA RAHMAH