TEMPO.CO, Kendari - Keluarga Abdul Jalil, 25 tahun, menuding Kepolisian Resor Kendari maupun Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara melakukan kebohongan. Bukan saja yang berkaitan dengan tuduhan yang dijadikan dasar menangkap Jalil, tapi juga penyebab kematian Jalil beberapa jam setelah penangkapan.
Abdul Jalil yang bekerja sebagai staf di bagian rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Provinsi Sulawesi Tenggara itu ditangkap oleh puluhan polisi dari Kepolisian Resor Kendari pada Selasa dinihari, 7 Juni 2016 lalu. Penangkapan dilakukan di rumah Jalil di Kelurahan Tobimeita, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara.
Polisi menuduh Jalil sebagai salah satu pelaku kejahatan begal di beberapa lokasi di Kota Kendari. Jalil yang disebut polisi sudah lama diincar juga dituduh melakukan pencabulan. Namun, pada Selasa pagi sekitar pukul 10.00 WITA, orang tua Jalil menerima kabar duka, polisi menyatakan Jalil telah tewas akibat sakit asma dan ginjal. “Itu semua bohong,” kata ibu Jalil, Rahmatia, 56 tahun, kepada Tempo, Selasa, 14 Juni 2016.
Rahmatia menjelaskan, informasi awal yang diterimanya dari kepolisian, penyebab kematian Cili, panggilan Abdul Jalil, akibat pendarahan di bagian kaki kirinya akibat tembakan senjata api. Namun, tiba-tiba disebutkan akibat penyakit asma dan ginjal.
Rahmatia mweyakni anak ketiganya itu tidak memiliki riwayat penyakit asma maupun ginjal. Kalaupun benar karena kedua penyakit itu, tidak mungkin tiba-tiba meninggal dunia. “Pada saat diambil polisi, anak saya sehat-sehat saja. Saya yakin anak saya dibunuh,” ujarnya. Apalagi saat jenazah Cili tiba di rumah, orang tua dan para kerabat kaget karena pada sekujur tubuhnya penuh luka lebam. Kaki kirinya terdapat luka tembakan.
Rahmatia juga mempertanyakan dasar tuduhan polisi yang menyebut Cili sebagai pelaku begal dan pencabulan. Tidak ada tanda-tanda anaknya sebagai pelaku kejahatan, seperti gelisah, cemas, rasa takut. “Sehari-hari biasa saja, berangkat dan pulang kantor juga tetap dilakukan, karena saya yang antar dan menjemputnya,” ucap Rahmatia yang ditemani anak perempuannya, Zahra.
Kepala Bidang Pemberantasan BNNP Sulawesi Tenggara Abdul Karim Samandi menjelaskan, Cili yang merupakan lulusan sekolah keperawatan di Kabupaten Konawe itu dikenal sebagai sosok yang baik dan ulet. Dia bekerja di bagian rehabilitasi, ikut membantu tim dokter mengambil sampel urine pelaku narkoba. “Memang agak pendiam, tapi rajin dan suka membantu teman-temanya,” tuturnya kepada Tempo.
Karim juga mempertanyakan alasan kepolisian menangkap Cili. Jika benar dia merupakan target kepolisian, tidak mungkin tetap menampakkkan diri dan terus bekerja seperti biasa.
Ketua RW di Kelurahan Tobimeita Jusman juga menampik tuduhan polisi. Sebagai Ketua RW, dia cukup mengenal Cili karena berkawan dengan anak laki-lakinya sejak keduanya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. “Saya bingung. Koq, polisi bisa menuduh Cili sudah berkali-kali melakukan kejahatan,” katanya, seraya mengatakan tidak mendapat pemberitahuan polisi ihwa penangkapan Cili.
Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Sulawesi Tenggara Ajun Komisaris Besar Sunarto mengatakan penangkapan terhadap Cili sudah sesuai prosedur. Cili juga tetap diyakini sebagai pelaku begal dan pencabulan. “Polisi memiliki bukti yang cukup,” ujarnya. Namun menolak merinci apa saja bukti yang dimiliki polisi.
Ihwal penyebab kematian Cili, Sunarto tidak mau berspekulasi. Termasuk kemungkinan akibat dianiaya puluhan polisi yang menangkapnya. Saat ini aparat Polda sedang mengusutnya. Sudah 14 orang saksi yang dimintai keterangan, termasuk keluarga Cili. 13 di antaranya anggota kepolisian.
Penangkapan yang disusul kematian Cili menjadi pembicaraan masyarakat Kendari. Kemarin ratusan massa yang menyebut dirinya ‘Anti Polisi’ menggelar aski unjuki rasa. Mereka menyuarakan tema “Pray For Jalil”.
Massa yang merupakan mahasiswa Universitas Haluoleo dan Universitas Muhammadiyah serta warga Kelurahan Tobimeita, melakukan aksinya di sejumlah tempat. Termasuk di depan Markas Polresta Kendari dan Markas Polda Sulawesi Tenggara.
Unjuk rasa diwarnai bentrokan. Massa yang hendak merangsek menembus ketatnya pengamanan polisi, mendapat perlawanan dari ratusan polisi yang melepaskan tembakan gas air mata dan semburan air dari mobil water canon. Massa melakukan perlawanan dengan lemparan batu.
Polisi pun bertindak anarkistis, memukul sejumlah massa, menangkap sopir mobil pengangkut massa. Polisi juga mengambil secara paksa perangkat sound sistem yang digunakan massa.
ROSNIAWANTY FIKRI