TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menilai media massa jarang memberitakan kabar perihal pengurangan risiko bencana (PRB) dibanding peristiwa bencana yang telah terjadi.
“Ini fakta, kami tahu polanya,” kata dia dalam workshop Tantangan dan Perspektif Media Massa Sebagai Mediator PRB dalam Edukasi Publik di Hotel Alila, Jakarta, Senin, 13 Juni 2016.
Menurut Sutopo, pemberitaan berkaitan dengan tanggap darurat bencana masih mendominasi pemberitaan. Padahal pemberitaan soal PRB adalah investasi dalam pembangunan. Ia mencontohkan pembangunan sebuah bendungan mini di Imogiri, Yogyakarta sekitar tahun 2012. Pembangunan itu sekitar Rp 80 juta dan bermanfaat hingga sekarang.
Sutopo mengatakan pembangunan bendungan mini selebar 6 meter itu adalah bentuk PRB yang bermanfaat bagi penduduk yang awalnya mengalami kekeringan. Menurut dia, dengan adanya bendungan itu, kekeringan tidak lagi terjadi di daerah sekitar bendungan dibangun. Seperti air di sumur yang tidak pernah mengalami kemarau.
Sutopo mencontohkan di Amerika dan Eropa, setiap donasi US $ 1 yang digunakan untuk PRB mampu mengurangi kerugian akibat bencana sebesar US $ 7. Ia membandingkan kondisi itu dengan Indonesia. Menurut dia, di Indonesia belum ada hitungan yang pasti serta masih minimnya peran media dalam mengkampanyekan PRB.
Sutopo juga mengkritik pemberitaan media di Indonesia perihal bencana dibandingkan dengan Jepang. Ia menilai di Indonesia masih ada media yang berpatokan bad news is good news. Misalnya ketika terjadi bencana, media lebih tertarik memberitakan korban yang terkena dalam bencana tersebut.
Sementara itu di Jepang, kata dia, media menunjukkan itikad baik. Yaitu memberitakan evakuasi yang dilakukan sehingga menunjukkan hal positif bahwa Jepang tangguh dalam menghadapi bencana.
Ada tantangan yang juga dialami BNPB dalam menggandeng media khusus untuk memberitakan berkaitan dengan bencana. Menurut Sutopo, peliputan untuk peristiwa bencana sebaiknya dilakukan oleh wartawan yang sudah berpengalaman.
Pada 2012 pihaknya telah melatih sekitar 150 wartawan khusus untuk meliput soal kebencanaan. Namun 1-2 tahun kemudian wartawan yang telah dilatih telah berpindah di bidang lain selain kebencanaan. Ia menilai itulah salah satu tantangan yang dialami.
DANANG FIRMANTO