TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal (Purnawirawan) Kivlan Zen mengaku serius mempersiapkan simposium tandingan atas Simposium Tragedi 1965 yang diadakan Lembaga Ketahanan Nasional pada April lalu.
Menurut Kivlan, simposium tandingan tak dibuat untuk melawan pemerintah. Simposium yang digagas sejumlah purnawirawan militer itu rencananya diadakan pada awal Juni 2016, tapi belum mendapat persetujuan pemerintah.
“Itu bukan melawan pemerintah, kan kita demokrasi. Kami tak perlu minta izin untuk bikin simposium tandingan,” kata Kivlan setelah menghadiri diskusi publik di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu, 25 Mei 2016.
Simposium tandingan, ucap dia, dibentuk oleh komponen bela negara sebagai pembanding simposium bertajuk Membedah Tragedi 1965 dari Pendekatan Kesejarahan yang diadakan pada 18-19 April lalu. Menurut dia, hingga kini, TNI dan ulama belum mendapat kesempatan berbicara tentang kasus 1965. “Makanya kami adakan simposium (tandingan) itu. Kami akan sampaikan kebenaran hakiki bahwa kami benar."
Kivlan mengaku tak setuju pada rekomendasi simposium yang diadakan pemerintah. Rumusan rekomendasi itu, ujar dia, ada di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan setelah dikaji panitia simposium. Substansinya pun belum dipublikasi. “Rekomendasinya ada itu. Kalau tak minta maaf kepada (simpatisan) PKI yang terbunuh, negara harus ada penyesalan. Kok, malah penyesalan?” tuturnya.
Kivlan menyebut panitia Simposium Tragedi 1965 menyarankan restitusi alias ganti rugi kepada korban perburuan PKI pada 1965-1966. Saran itu didengarnya langsung dari Ketua Panitia Pengarah Simposium, yaitu Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Letnan Jenderal (Purnawirawan) Agus Widjojo. “Masih saya pertanyakan itu persisnya seperti apa. Pak Agus juga belum jelas,” kata Kivlan.
Gagasan simposium tandingan itu sempat dipertanyakan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan. "Saya enggak ngerti, yang ditentang apanya. Yang saat itu diundang tapi tidak hadir sudah mengaku menyesal, kok," kata Luhut di kantornya, 18 Mei 2016.
Menurut Luhut, semua purnawirawan TNI sudah diundang ke simposium yang diadakan Lemhanas tersebut, tapi sebagian besar tak datang. Mereka yang tidak hadir, ucap Luhut, sudah menyatakan penyesalan. Hal itu bahkan ditayangkan secara langsung di salah satu episode program Indonesian Lawyers Club (ILC) TVOne.
"Nonton ILC, enggak? Nah, itu yang diundang nyesal tak hadir. Semua pihak diundang, kok. Pembicaranya orang-orang kredibel, seperti Pak Sintong Pandjaitan," ujar Luhut.
Luhut tak mempersoalkan anggapan bahwa simposium yang dilaksanakan di Hotel Aryaduta itu tak berjalan imbang. "Katanya tak imbang, apanya? Siapa suruh tak datang, urusan dia dong."
Agus Widjojo sendiri tak ingin ambil pusing menyikapi munculnya ide simposium tandingan itu. "Perbedaan pendapat itu wajar dan harus dihargai. Tidak bisa bilang satu kegiatan, satu cara, itu sebagai sesuatu yang paling benar," tutur Agus.
YOHANES PASKALIS