TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan anggota DPR yang tidak melaporkan kunjungan kerja secara benar harus dijatuhi sanksi. "Harus ada sanksi, baik dari fraksinya maupun pimpinan DPR," katanya di kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat, 13 Mei 2016.
Wakil Presiden yang biasa disapa JK itu mengemukakan pendapatnya mengenai temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ihwal potensi kerugian negara Rp 945 miliar dalam penggunaan dana kunjungan kerja perseorangan oleh anggota DPR.
Menurut Kalla, ada dua macam laporan yang berkaitan dengan kunjungan kerja anggota DPR ke daerah pemilihannya. Pertama, laporan perjalanan. Misalnya, anggota DPR menemui bupati. Jadi dalam laporannya harus ada bukti berupa tanda tangan bupati.
Begitu pula bila anggota DPR mendatangi atau bertemu masyarakat. Seharusnya ada foto sebagai bukti anggota DPR itu benar melakukan kunjungan. Adapun laporan kedua berupa hasil kunjungan kerja tersebut.
(Baca: Sekjen DPR Akui Kumpulkan Bukti Dugaan Kunker Fiktif 945 M)
Berdasarkan laporan BPK, kata Kalla, kadang yang melakukan kunjungan kerja justru staf khusus anggota DPR. Sedangkan anggota DPR tak melakukan kunjungan kerja. Kalla menyayangkan hal tersebut karena itu perbuatan menyimpang.
Bagi anggota DPR, kata Kalla, kegiatan kunjungan kerja bermanfaat untuk anggota DPR itu sendiri. "Anggota DPR itu lebih dikenal, selalu dikenang konstituennya, sehingga bisa dipilih lagi,” tuturnya.
Selain itu, kunjungan kerja bermanfaat karena berkaitan dengan fungsi DPR dalam menyusun anggaran dan perundang-undangan. Bila benar-benar turun ke daerah menemui konstituen, aspirasi yang disuarakan setiap anggota DPR sesuai dengan kenyataan yang ada di masyarakat. “Dua jenis laporan dalam kunjungan kerja anggota DPR harus dipenuhi,” ucap Kalla.
Sebelumnya, beredar surat pemberitahuan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang meminta anggotanya membuat laporan kunjungan saat masa reses. Surat itu ditandatangani oleh Sekretaris Fraksi Bambang Wuryanto.
Surat Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan itu dikeluarkan setelah ada surat Sekretariat Jenderal DPR tentang keraguan terhadap kunjungan kerja anggota DPR. Hal itu mengakibatkan potensi kerugian Rp 945 miliar.
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Harry Azhar Azis mengatakan pihaknya sedang mengaudit keuangan DPR, termasuk di dalamnya pengeluaran yang berkaitan dengan kunjungan kerja para anggota Dewan. Namun dia belum mengetahui secara pasti berapa potensi kerugian negara karena proses audit belum selesai. "Angkanya belum tahu.”
AMIRULLAH | AHMAD FAIZ