TEMPO.CO, Jakarta - Pengacara senior, Trimoelja D. Soejadi, mendesak Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya mengusut dan mempidanakan pembongkar eks markas radio Bung Tomo yang kini sudah rata dengan tanah. Pasalnya, pembongkaran dan perobohan itu melanggar Pasal 105 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
“Bunyinya, setiap orang yang dengan sengaja merusak Cagar Budaya, dipidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 15 tahun, dan/atau denda paling sedikit Rp 500 juta dan paling banyak Rp 5 miliar,” kata Trimoelja kepada Tempo, Ahad, 8 Mei 2016.
Berdasarkan pelanggaran itu, ia mengaku sudah mendatangi Markas Polrestabes Surabaya, Kamis, 5 Mei 2016. Laporan itu atas nama warga negara, khususnya warga Surabaya. Sayangnya, laporannya itu kandas di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polrestabes Surabaya karena pihak SPKT meminta dua alat bukti supaya bisa diproses. “Saya sudah membawa dua kliping koran sebagai alat bukti, tapi mereka masih enggan memproses,” katanya.
Bahkan pihak SPKT juga meminta surat bukti kepemilikan rumah yang ada di Jalan Mawar Nomor 10 Surabaya itu. Trimoelja pun memastikan tidak memiliki surat itu karena ia memang bukan pemiliknya.
Padahal, ujar Trimoelja, kasus pembongkaran dan perobohan cagar budaya itu bukan termasuk delik aduan, sehingga, walaupun tidak ada laporan, polisi seharusnya sudah mengusutnya.
Diskusi panjang pun terjadi dengan pihak SPKT. Diskusi itu diceritakan oleh Trimoelja dalam akun Facebook-nya Trimoelja D Soejadi pada Jumat, 6 Mei 2016 . Akhirnya, Trimoelja sadar bahwa tidak ada gunanya berdebat dengan petugas SPKT karena dia hanya menjalankan SOP yang berlaku.
Petugas SPKT tersebut lantas menyarankan untuk membuat surat laporan yang ditujukan langsung kepada Kapolrestabes Surabaya. Saran itu akan dilakukan oleh Trimoelja dengan mengirim surat kepada Kapolrestabes Surabaya. “Insya Allah besok Senin, saya akan mengirimkan surat itu,” katanya.
Menurut Trimoelja, cerita tentang laporannya yang ditolak itu sudah dilihat oleh banyak orang. Alhasil, pada hari Senin ini, akan ada aksi dari para pemuda Surabaya untuk mendesak polisi mengusut kasus pembongkaran tersebut. “Tapi itu bukan atas rekomendasi saya, itu beda. Kalau saya bergerak sendiri dengan mengirim surat kepada Kapolrestabes Surabaya,” ujarnya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya Wiwik Widyawati mengatakan proyek itu sebenarnya sudah ada rekomendasi dari pihak cagar budaya tertanggal 14 Maret 2016. Dalam rekomendasi yang diberikan kepada PT Jayanata selaku pembeli lahan itu, diterangkan bahwa rumah tersebut boleh direnovasi karena bangunannya sudah tua.
Bahkan ada pula beberapa bagian yang perlu diperbaiki dan sudah diusulkan pemohon (PT Jayanata). “Tapi, dalam rekomendasi itu, tidak disarankan dibongkar atau dirobohkan karena bangunan itu tipe B,” tuturnya.
Renovasi tersebut, ujar Wiwik, harus sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2015. Dalam perda itu juga diperbolehkan untuk memperbaiki dan merenovasi bangunan cagar budaya apabila dimakan rayap atau bangunan sangat tua. “Kecuali roboh karena faktor alam, seperti gempa bumi atau lainnya, maka itu boleh dibangun kembali,” ujarnya.
Ternyata pihak PT Jayanata tidak menghiraukan rekomendasi itu, sehingga pemerintah Kota Surabaya menilai perobohan tersebut melanggar perda dan tidak sesuai dengan rekomendasi. Karena itu, Satpol PP Surabaya menyegel lahan itu dengan memberi satpol line dan stiker pelanggaran.
Sementara itu, Store Manager PT Jayanata Lilik Wahyuni tak memberi banyak komentar terkait pelanggaran ini. Bahkan ia mengaku tidak tahu perihal pembongkaran tersebut. “Kami belum menyikapi karena kami memang tidak tahu pembongkaran itu, kami hanya berhubungan dengan penjualan, tidak ada yang lain,” katanya singkat.
MOHAMMAD SYARRAFAH