TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers Nawawi Bahrudin mengatakan masih ada amunisi untuk lembaga penegak hukum mengkriminalkan awak media. Salah satunya Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
“Pasal 207 ini kerap dipakai untuk memperkarakan pers yang terbiasa menyampaikan kritik tajam," ujarnya di kantor Aliansi Jurnalis Independen, Jakarta, Selasa, 9 Februari 2016.
Pasal 207 KUHP menyatakan barang siapa dengan sengaja di muka umum menghina suatu penguasa atau badan hukum akan diancam pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan.
Pasal ini, salah satunya, digunakan untuk memperkarakan peneliti Indonesia Legal Roundtable, Erwin Natosmal Oemar. Erwin diperkarakan akibat kritiknya terhadap polisi dalam acara Indonesia Lawyers Club, yang telah dinyatakan Dewan Pers sebagai produk jurnalistik. Adapun Erwin diadukan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti.
Pasal 207 ini sempat diujimaterikan pada 2006. Mahkamah Konstitusi kemudian mengubah penggunaan Pasal 207 yang sebelumnya delik biasa menjadi delik aduan. Dengan kata lain, siapa pun bisa mengadu jika merasa telah dihina, tak terkecuali oleh pers.
Menurut Nawawi, pasal tersebut berbahaya bagi pers karena apa pun pendapat pers bisa dinyatakan sebagai hinaan. Selain itu, konteksnya cenderung luas sehingga pers pun bisa terseret meski kritiknya merupakan bagian dari hasil kerja jurnalistik. "Seharusnya Pasal 207 itu tidak digunakan untuk pers karena mekanismenya berbeda," tuturnya.
Stanley Adi Prasetyo dari Dewan Pers beranggapan sama. Menurut Stanley, Pasal 207 KUHP hanya bisa digunakan untuk hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Dalam kasus Erwin, kata ia, kritik yang diberikan justru mewakili kepentingan umum. "Kalau dikatakan membuat gaduh pernyataan itu, gaduhnya di mana?" ucapnya.
Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform, Erasmus Napitupulu, merasa Pasal 207 KUHP perlu diujimaterikan lagi. "Kalau dipakai terus untuk mengkriminalkan pers, mending UU Pers jadi pajangan saja," ujarnya.
ISTMAN MP