TEMPO.CO, Denpasar – Para seniman dan sastrawan di Bali berkumpul di Jatijagat Kampung Puisi (JKP) Bali dalam aksi Solidaritas untuk Saut Situmorang. Selain diisi dengan pembacaan puisi karya Saut Situmorang, dalam acara tersebut juga diadakan diskusi yang bertajuk “Pasal Karet UU ITE, Medsos, dan Kesenian” terkait dengan kasus yang menjerat penyair Saut Situmorang. “Debat sastra kok menjadi debat hukum? Seharusnya ini bisa menjadi debat antarseniman saja,” ujar Maulana Rizki, Sabtu malam, 16 Januari 2016.
Maulana Rizki selaku pembicara menilai UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) sebagai pasal karet. Ia menyebut pasal karet karena dalam kapasitasnya UU ITE merupakan pasal yang dapat ditarik dan diulur sesuai keinginan bagi siapa pun yang berkepentingan di dalamnya. “Pasal Karet, dalam prakteknya, meskipun bersifat lentur namun bisa juga menjadi sangat mengekang. Kebebasan berekspresi dan berpendapat juga tidak dapat mengelak oleh adanya pasal-pasal karet,” kata Rizki dalam diskusi tersebut.
Pria yang juga pegiat JKP Bali ini menuturkan UU ITE dalam kapasitasnya kerap berhubungan dengan penghinaan atau pencemaran nama baik. Dalam pembuktiannya, sejauh mana seseorang yang bersangkutan dapat dibuktikan namanya tercemar. Hal tersebut, kata dia, dinilai cenderung menjadi tidak jelas dasar pembuktiannya, karena hanya menurut pandangan sendiri saja. “Kata ‘bajingan’ yang dilontarkan penyair Saut itu hanya ungkapan, karena tidak ada kata lain yang menegaskan ditujukan ke nama seseorang. Kategori pencemaran nama baik itu, menyebut nama,” ujarnya.
Penyair asal Bali, Wayan ‘Jengki’ Sunarta yang didapuk menjadi moderator dalam diskusi tersebut menambahkan, bahwa kasus yang menimpa Saut Situmorang sebagai kriminalisasi terhadap sastrawan. “Hal ini merupakan persoalan serius dalam kebebasan berpendapat, berekspresi dalam dunia sastra di Indonesia,” kata Jengki.
Maulana Rizki menjelaskan seiring berkembangnya zaman, percakapan dalam dunia maya tidak lepas dari kehidupan berkomunikasi sehari-hari. Bahkan, kata dia, percakapan atau bahkan diskusi lewat media sosial telah menjadi bagian dari demokrasi untuk menumpahkan aspirasi. “Media sosial dipilih karena mampu menampung aspirasi seluruh warna masyarakat. Siapa pun dapat bebas berpendapat, karena dalam dunia digital semua orang adalah sama, tidak ada struktur dan organisasi,” tuturnya.
Baca Juga:
“Namun, sejak disahkannya UU ITE yang juga terdapat pasal karet di dalamnya, demokrasi dalam dunia Internet menjadi terancam. Sudah banyak orang yang terjerat pasal karet dalam UU ITE termasuk penyair dan kritikus sastra Saut Situmorang,” tambahnya.
Seperti diketahui, Saut Situmorang menjadi tersangka atas tuduhan melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik melalui media elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat 1 jo Pasal 27 ayat 3 UU RI Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan atau Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Pasal 311 KUHP. Penyair asal Sumatera Utara itu dilaporkan karena dianggap merisak penyair Fatin Hamama terkait dengan buku 33 Tokoh Sastra Berpengaruh di Indonesia.
BRAM SETIAWAN