TEMPO.CO, Jakarta - Ben Anderson pernah melakukan kajian Saminisme, subkultur Jawa yang mendiami sejumlah tempat di Bojonegoro, Blora, dan Pati. Saminisme merupakan sebutan oleh orang luar buat mereka. Namun mereka lebih suka menyebut diri Sedulur Sikep. Ketertarikan Ben Anderson terhadap Saminisme ini diceritakan oleh Amrih Widodo, yang kini menjadi dosen antropologi budaya di Australian National University. Amrih bertemu pertama kali dengan Ben pada 1981 di suatu pesta yang diadakan John Wolff, dosen di Cornell University.
Ben Anderson adalah profesor dari Cornell University, Amerika Serikat, yang ikut mewarnai pemikiran dunia tentang Indonesia. Ben Anderson wafat di Batu, Jawa Timur, Minggu dinihari, 13 Desember 2015. Ben dikenal karena kritik-kritiknya terhadap Orde Baru. Ia pernah dilarang masuk ke Indonesia oleh Soeharto dan baru datang lagi ke sini setelah rezim Soeharto jatuh. Ben, 79 tahun, datang ke Indonesia untuk mengisi kuliah umum bertema anarkisme dan nasionalisme di kampus Universitas Indonesia, Depok, Kamis, 10 Desember 2015.
Baca Juga:
Amrih mengatakan pernah mengambil kuliah tambahan dengan fokus kajian pembangunan, tapi merasa tidak cocok. Ketika Amrih mengambil mata kuliah antropologi politik yang diajar oleh Ben Anderson dan Jim Siegel, yang kemudian menjadi pembimbingnya, Amrih tergugah untuk belajar mengenai budaya politik Indonesia. “Terutama tentang rezim Orde Baru yang hegemonis lewat gerakan-gerakan perlawanannya,” kata Amrih, Jumat, 18 Desember 2015.
Menurut Amrih, topik kajiannya mengenai gerakan Saminisme juga berangkat dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam kuliah dan diskusi dengan Ben Anderson. Memang Ben juga pernah menulis artikel mengenai gerakan Saminisme ini. Ben Anderson juga terpesona dengan gerakan Saminisme karena kelihaiannya dalam membangun strategi, terutama lewat politik bahasa, dalam melawan, menghindari, mengabaikan, membangkang, serta bentuk-bentuk perlawanan dan pembangkangan lain terhadap rezim kekuasaan.
Ben Anderson pernah bercerita kepada Amrih bahwa beberapa tahun lalu ia sempat bertemu dengan seorang perempuan Samin di Desa Nginggil, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Desa Nginggil adalah tempat permukiman Mbah Suro yang terkenal perlawanannya. Ben melihat perlawanan ini sebagai gerakan anarkis, gerakan melawan atau tidak mengakui segala bentuk kekuasaan yang mengikat dan menindas. “Saya merasa didorong tidak hanya untuk memahami dan menjelaskan 'kegilaan' kreativitas strategi perlawanan gerakan Samin ini, tetapi juga untuk mewarisi semangat dan keberaniannya,” kata Amrih.
Menurut Amrih, ada kemiripan antara semangat pemuda yang digambarkan oleh Ben Anderson dalam bukunya Revoloesi Pemuda dan esensi anarkisme dalam gerakan Saminisme. Pemuda merupakan momentum effervescence, meminjam istilah yang dipakai ilmuwan Durkheim, yaitu saat yang tak bisa dikuasai baik oleh rezim politik maupun rezim makna. Pemuda adalah momentum yang berada di luar sejarah, saat yang mempunyai potensi untuk menciptakan perubahan, momentum kreatif dengan dorongan energi tak terbatas untuk menjebol segala yang mapan.
Momentum effervescence ini, kata Amrih, menjadi karakter dasar Ben untuk tidak mau menyerah kepada kuasa apa pun, sampai wafatnya. Teriakan “Eeee” yang Ben lontarkan sebelum ceramahnya di Universitas Indonesia sebelum wafat, kata Amrih, adalah ekspresi tuturan performatif tak mau dikuasai oleh rezim makna, apalagi oleh rezim politik.
SUNUDYANTORO