TEMPO.CO, Jakarta - Pada 10 November 70 tahun silam, Surabaya digempur dari udara, laut, dan darat. Kita bisa membaca deskripsi dahsyatnya pertempuran lewat koran-koran Harian Merdeka, Ra’jat, hingga Kedaulatan Rakyat. Tiga harian ini melaporkan memanasnya Surabaya sejak Oktober. Dalam laporan-laporan itu ada berbagai foto peristiwa yang digunakan untuk menampilkan kondisi terkini. Semuanya menggunakan kredit foto Antara (saat itu dikenal dengan nama Domei). Namun, tidak banyak yang mengenal Abdoel Wahab Saleh, fotografer yang mengabadikan peristiwa itu.
Abdoel Wahab Saleh lahir di Surabaya pada 23 April 1923. Sebelum mempelajari fotografi, dia sempat mengajar sebagai guru setara SMP Muhammadiyah. Pada tahun 1943, dia menjadi fotografer Domei dan menjabat sebagai Kepala Foto Domei cabang Surabaya saat kota pelabuhan itu membara. Abdoel Wahab besar di keluarga antiperang. “Ibunya pedagang pasar sebelum penyobekan bendera Belanda di Hotel Yamato,” kata Yudhi Soerjoatmodjo, fotografer yang pernah meneliti foto-foto 10 November kepada Tempo belum lama ini.
Abdoel Wahab mengenal dekat sosok Bung Tomo, pimpinan Radio Pemberontak. Mereka berkantor di tempat yang sama. Abdoel Wahab di lantai satu, Bung Tomo di lantai dua. Pada 9 November 1945, sehari sebelum perang berlangsung, Abdoel Wahab berjalan kaki bersama Bung Tomo dari kantor mereka ke Hotel Yamato.
Dalam memoarnya, Bung Tomo menulis bahwa saat itu Hotel Yamato dipenuhi berpuluh-puluh orang Belanda. Bung Tomo menulis bahwa sesampainya di sana, Abdoel Wahab melakukan tugas jurnalistik dengan memotret situasi di sana. Dia tidak mengindahkan larangan mereka untuk tidak mengabadikan gambar. Seorang Belanda yang masih muda tampak tak suka dengan peristiwa itu dan memukulnya. “Itu adalah peristiwa bersejarah,” tulis Bung Tomo dalam memoarnya.
Esoknya, saat Surabaya membara, Abdoel Wahab memotret foto-foto peperangan. “Dia bertahan dalam medan pertempuran hingga hari-hari terakhir saat dia tertembak,” kata Yudhi. Abdoel Wahab lalu mundur, pulang ke rumah ibunya untuk pamit, mundur, dan menghilang. (Lihat video Bung Tomo dan Radio Pemberontakan)
Dua tahun kemudian dia menjadi Kepala Foto Kantor Berita Antara. Dia sempat pindah ke Jakarta sebelum akhirnya menghadapi konflik dan keluar dari kantor itu. Karyanya setelah itu banyak tercatat dalam Perum Produksi Film Negara (PFN). Dia banyak memotret bintang film dan tinggal di kawasan Bidara Cina, Jakarta Timur.
Abdoel Wahab lalu jatuh cinta pada Fifi Young, bintang film peranakan Tionghoa-Prancis yang sangat terkenal di zamannya. Cintanya bertepuk sebelah tangan. Hidupnya lalu mengalami penurunan. Rumahnya di Jalan Kalasan disita karena tidak mampu membayar utang. Setelah itu, dia dikabarkan kembali ke Surabaya, mendapat tekanan jiwa. Abdoel Wahab meninggal dunia pada 1982 karena disentri.
Yudhi mengatakan bahwa jasa Abdoel Wahab dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dan dunia fotografi Indonesia sangat besar. “Dia ada di garis depan saat peperangan terjadi. Dialah yang menyembunyikan foto-foto penting, memata-matai pasukan Belanda. Pada saat agresi militer Belanda kedua, dia menyewa studio Mangkunegaran di Malioboro. Sayang, banyak orang tidak mengenalnya,” kata Yudhi.
Abdoel Wahab Saleh juga diduga sebagai salah satu fotografer yang mengabadikan potret Bung Tomo yang tengah berorasi dengan jari menunjuk langit yang sangat terkenal itu. Potret terkenal itu kerap diasosiasikan dengan pertempuran 10 November 1945. Namun, siapa pembuatnya, kapan, dan di mana tidak ada yang tahu pasti. Benarkah Abdoel Wahab Saleh adalah fotografer yang mengabadikan potret ikonik itu?
Siapa sosok Sutomo alias Bung Tomo sesungguhnya? Baca selengkapnya Edisi Khusus Bung Tomo Penyebar Warta Palagan Surabaya di Majalah Tempo pekan ini.
AMANDRA MUSTIKA MEGARANI