TEMPO.CO, Yogyakarta - Lima pedagang kaki lima akan diusir dan digugat sebesar Rp 1,120 miliar. Sebab mereka dituduh menempati lahan kekancingan Keraton Yogyakarta yang sudah di berikan hak gunanya kepada penggugat.
Para pedagang nasi, tukang kunci, dan penjual stiker telah menempati lokasi di Jalan Brigjen Katamso sejak 1967 secara turun-temurun. Tiba-tiba penggugat menunjukkan surat kekancingan lahan hak guna pada 2011.
"Saya sejak dulu menempati lokasi itu sebagai tukang kunci," kata Budiono, salah satu pedagang kaki lima, saat mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Senin, 7 September 2015.
Lokasi di selatan perempatan Gondomanan itu memang sangat strategis dan ramai. Lima pedagang selain Budiono adalah Sutinah, pedagang nasi; Suwarni, pedagang nasi; Agung, pedagang stiker; dan Sugiyadi, penjual bakmi. Tiga orang terakhir ini hanya menempati satu lokasi karena berdagang secara bergiliran.
Luas lahan yang digunakan untuk berdagang hanya 4 x 5 meter. Sedangkan lahan kekancingan keraton yang diberikan kepada Eka Aryawan seluas 73 meter persegi.
Sejak 2012, para pedagang ini sering didatangi orang tidak dikenal, yang meminta mereka untuk pergi. Mereka akan diusir dengan bekal surat kekancingan Keraton Yogyakarta nomor 203/HT/KPK/2011 atas nama Eka Aryawan.
Pada 2013, kedua belah pihak sudah membuat pernyataan. Kedua belah pihak mengukur lahan kekacingan. Batas-batas lahan sudah ditentukan, para pedagang tidak menempati lahan kekacingan. Kegiatan mereka tidak saling mengganggu. Mereka membuat surat kesepakatan yang ditandatangani oleh semua pihak. Termasuk dari kepolisian, kecamatan, dan lembaga bantuan hukum.
"Tiba-tiba, mereka diusir kembali dengan gugatan perdata ke pengadilan yang akan digelar 14 September mendatang," kata Ikhwan Sapta Nugraha, kuasa hukum para tergugat dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta.
Ia menyayangkan sikap Keraton Yogyakarta yang secara sepihak mengeluarkan surat kekacingan tanpa memperhatikan kliennya. Ia juga meminta pemegang surat kekacingan, Eka, untuk patuh pada kesepakatan yang telah ditandatangani pada 13 Februari 2013.
"Kami menyayangkan pihak Keraton yang membiarkan pemegang surat kekacingan menggugat para pedagang yang termasuk ekonomi lemah," kata dia.
Kliennya juga punya bukti-bukti menempati lokasi itu. Termasuk surat perjanjian pemanfaatan lahan yang masih berbahasa Belanda. Bahkan setiap tahun juga membayar pajak bumi dan bangunan lokasi itu.
Onchan Poerba, pengacara penggugat, menyatakan, kliennya sudah mengajak musyawarah baik-baik enam bulan lalu. Tetapi tidak diterima dan mereka tidak mau pindah dari lokasi.
Menurut dia, para pedagang kaki lima itu liar. Sebab, menempati lokasi yang tidak ada izinnya. Lokasi para pedagang itu berada di bahu jalan atau trotoar.
"Mereka juga mengganggu jalan masuk ke ruko klien kami," kata dia.
Ia mengaku sudah mendapatkan izin dari pemerintah kota untuk membuka jalan atau gang menuju ke lokasi milik kliennya. Wajar jika pihaknya menuntut kerugian material sebesar Rp 120 juta dihitung sejak surat kekancingan berlaku. Juga denda sebesar Rp 1 miliar secara immaterial.
MUH. SYAIFULLAH