TEMPO.CO, Denpasar - Warga dari enam banjar di Desa Kesiman, Denpasar, Bali, Minggu, 9 Agustus 2015 menggelar upacara mecaru, yang bertujuan untuk menyomya atau menetralisir dampak negatif pasca terjadinya pembunuhan terhadap Angeline.
Enam banjar itu adalah Banjar Kebonkuri Lukluk, Kebonkuri Tengah, Kebonkuri Mangku, Kebonkuri Kelod, Buana Anyar, dan Banjar Dinas Buaji Anyar.
Suara kidung dan irama musik tradisional, gamelan gong, mengalun di catus pata (persimpangan jalan) Jalan Sedap Malam, Denpasar, Bali. Tampak seluruh warga berpakaian adat Bali serba putih bersiap melaksanakan upacara mecaru.
Prajuru Gumi Kebonkuri (Pemimpin adat yang menaungi 6 banjar), I Ketut Sutapa, 49 tahun, mengatakan upacara mecaru sekaligus memohon supaya kasus seperti itu tidak terjadi lagi. Apalagi jenazah Angeline pernah dikubur di dalam pekarangan rumah ibu angkatnya, Margriet Magawe. “Makanya kami buatkan caru pengentas juga di sana supaya mengembalikan lahan seperti semula,” katanya.
Sutapa menjelaskan, sebelum upacara mecaru dilaksanakan, pihak desa adat sudah mengadakan rapat sekitar sebulan lalu. Dia dan sejumlah pemuka banjar kemudian dipanggil Wakil Gubernur Bali, I Ketut Sudikerta, dan diarahkan untuk melakukan upacara mecaru. “Seluruh biaya upacara, Rp 75 juta dari beliau,” ujarnya.
Seluruh warga yang terlibat dalam upacara melaksanakan pengerebeg caru dengan berjalan bersama mengelilingi desa. Hal tersebut, kata Sutapa, secara simbolis merupakan bagian dari upacara.
“Nama carunya wraspati kapa pengresiganan menggunakan lima ekor ayam panca warna, satu ekor itik belang kalung, satu ekor anjing belang bungkem,” ucap Sutapa menjelaskan detail upacara.
Upacara diamankan oleh aparat Kepolisian Sektor Denpasar Selatan. Mereka mengalihkan arus lalu lintas demi kelancaran upacara.
Ketut Sudikerta juga tampak di antara warga yang melakukan upcara mecaru. Sudikerta menjelaskan kedatangannya untuk ikut berdoa bersama dalam upacara tersebut. “Ya, kita berdoa agar bisa tetap berada dalam kedamaian,” tuturnya.
BRAM SETIAWAN