TEMPO.CO, Semarang - Wali Kota Pekalongan Basyir Ahmad membantah jika disebut mengajukan pengunduran diri dari jabatannya karena ingin mengusung istri atau keluarganya dalam pilkada Kota Pekalongan 2015.
"Saya tegaskan, saya mundur bukan karena istri atau keluarga saya akan maju (pilkada). Saya tidak pernah mengatakan hal itu," kata Basyir di Semarang, Selasa, 23 Juni 2015.
Basyir mengklaim mundur dengan alasan ingin mendukung orang yang sudah disiapkan jauh-jauh hari untuk menjadi wali kota Pekalongan. Politikus Golkar ini menegaskan orang tersebut tidak ada hubungan keluarga dengan dirinya. "Kalau saya masih jadi wali kota, semua calon harus didukung. Tapi kalau saya sebagai kader partai, ya hanya kader yang akan didukung," kata dia.
Basyir sudah menyampaikan surat pengunduran diri ke Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Sebelumnya, pengunduran itu juga dibahas dalam sidang paripurna DPRD Kota Pekalongan.
Polemik ihwal pengunduran diri kepala daerah menyeruak menyusul adanya Surat Edaran (SE) 302/KPU/VI/2015 yang ditujukan kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Dalam surat itu dijabarkan tiga kriteria calon non-petahana. Pertama, kepala daerah yang jabatannya habis sebelum masa pendaftaran. Kedua, kepala daerah yang mengundurkan diri sebelum masa pendaftaran. Ketiga, kepala daerah yang diberhentikan tetap sebelum masa pendaftaran.
Adapun KPU menetapkan masa pendaftaran pada 26 Juli. Berbeda dengan penjelasan di undang-undang, KPU tak mensyaratkan harus ada jeda satu periode. Artinya, kerabat kepala daerah tak perlu menunggu sampai satu periode untuk bisa maju. Selama sang kepala daerah mundur sebelum 26 Juli, maka anak atau istrinya bisa mendaftar. Inilah yang kemudian memicu pengunduran diri ramai-ramai para kepala daerah tersebut.
Adapun di Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 disebutkan sejumlah syarat menjadi wali kota atau bupati. Pada Pasal 7 huruf r disebutkan syarat menjadi bupati atau wali kota adalah tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana atau inkumben. Pada penjelasan undang-undang itu disebutkan, yang dimaksud dengan "tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana" adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan, atau garis keturunan dengan petahana. Ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu wali kota atau bupati termasuk orang-orang yang dilarang mendaftar.
Mereka bisa mendaftarkan diri jika ada jeda satu kali masa jabatan. Artinya, lima tahun setelah masa jabatan seorang kepala daerah habis, anggota keluarganya baru boleh mendaftar. Namun pengertian itu berubah pada pekan lalu saat KPU mengeluarkan SE 302/KPU/VI/2015.
ROFIUDDIN