TEMPO.CO, Jakarta - Kain merah itu disibak. Sebuah prasasti setinggi dua meter berbentuk sebuah tangan tertutup sehelai kain yang belum tuntas dijahit dengan benang merah berdiri tegak. "Ini adalah monumen untuk menandakan ada luka yang harus disembuhkan," kata sang pematung, Awang Simatupang, saat ditemui di Taman Pemakaman Umum Pondok Ranggon, Jakarta Timur, Rabu, 13 Mei 2015.
Monumen Tragedi 98 dibangun di lokasi makam massal korban tragedi kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Awang memetaforakan duka seorang ibu dan istri yang anak atau suaminya jadi korban dalam tragedi yang menyertai turunnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya selama 30 tahun.
Menurut Awang, banyak ibu keluarga korban yang bekerja sebagai buruh cuci dan tukang jahit, sehingga kain dengan sobekan yang coba dijahit ulang dengan benang merah digambarkan untuk mewakili luka yang perlu dijahit, disembuhkan, dan kembali dibangkitkan harapannya.
Awang perlu waktu dua bulan untuk menuntaskan pengerjaan patung berbahan dasar semen dan stainless steel untuk bagian jarumnya. Awang merasa mengejawantahkan sebuah pesan dalam karya merupakan tahap pengerjaan yang cukup sulit.
Ia ingin monumen tersebut berdiri dan tak punya jarak dengan keluarga korban. "Saya ingin buat karya ini lebih dekat dengan persoalan, terutama patungnya disimpan di lokasi pemakaman," kata Awang.
Peristiwa kerusuhan 1998 turut memberikan kesan tersendiri bagi seniman IKJ tersebut. Saat tragedi terjadi, dia sedang berada di Taman Ismail Marzuki. Kabar datang dari mana-mana. Jakarta rusuh, peristiwa mengerikan pun tergambar dari banyak foto yang sempat terekam. "Saya enggak bisa lupa," ujar Awang. Waktu membuat patung ini pun Awang mengaku terbawa emosi.
AISHA SHAIDRA