TEMPO.CO, Jakarta - Pengusutan kasus kematian Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat masih berlanjut. Teranyar, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM memanggil seluruh ajudan Kadiv Propam Polri nonaktif, Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, pada Selasa, 26 Juli 2022, untuk meminta keterangan mereka.
Sebelumnya, Komnas HAM juga banyak terlibat menangani sejumlah kasus pelanggaran HAM berat. Namun, hingga kini banyak dari kasus tersebut yang masih menggantung hingga saat ini. Apa saja kasus tersebut?
1. Pembunuhan Massal 1965
Pada 2012 silam, Komnas HAM menyatakan adanya indikasi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Kasus pelanggaran HAM yang ditemukan meliputi pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, penghilangan paksa, hingga perbudakan. Dari dugaan-dugaan itu, Komnas HAM menemukan sebagian besar korban adalah anggota PKI dan organisasi lain yang masih bekaitan. Korban lainnya adalah masyarakat umum.
2. Peristiwa Talangsari Lampung 1989
Peristiwa Talangsari yang terjadi pada 7 Februari 1989 ini termasuk ke dalam kasus pelanggaran HAM berat. Peristiwa Talangsari pecah karena ada penerapan asas tunggal Pancasila di masa Orde Baru. Saat itu, pemerintah, polisi, dan militer menyerbu masyarakat sipil di Talangsari. Peristiwa ini terjadi di dusun Talangsari, Desa Rajabasa Lama, Way Jepara, Lampung Timur. Berdasarkan catatan Komnas HAM, peristiwa Talangsari setidaknya merenggut 130 nyawa, 77 diusir, 53 orang haknya dirampas secara sewenang-wenang, dan 46 orang mengalami penyiksaan. Jumlah korban secara pasti tidak diketahui hingga saat ini.
3. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998
Peristiwa ini terjadi ketika masa pemilihan Presiden Republik Indonesia (Pilpres) untuk periode 1998-2003. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS menyebut saat itu ada dua agenda politik besar, yakni Pemilihan Umum (Pemilu) 1997 dan Sidang Umum (SU) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada Maret 1998 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Tindak penculikan itu terjadi pada sejumlah aktivis, pemuda, dan mahasiswa. Gagasan-gagasan mereka dianggap sebagai bahaya yang dapat menghambat jalannya roda pemerintahan rezim Soeharto. Merujuk laporan KontraS pada 2017 lalu, 9 orang korban penculikan berhasil ditemukan. Namun 13 orang korban lainnya masih dinyatakan hilang sampai saat ini. Pada 1 Oktober 2005, Komnas HAM membuat tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM berat pada peristiwa tersebut. Hasilnya. Komnas HAM menemukan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998.
4. Peristiwa Rumoh Geudong Aceh 1998
Tragedi Rumah Geudong merupakan peristiwa penyiksaan terhadap masyarakat Aceh yang dilakukan oleh aparat TNI selama masa konflik Aceh (1989-1998). Peristiwa ini berlangsung ketika wilayah Aceh tengah dalam status Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989-1998. Pada saat itu pemerintah melalui panglima ABRI memutuskan untuk melancarkan operasi jaring merah. Dalam operasi tersebut, Korem 011/Lilawangsa menjadi pusat komando lapangan.
Hasil penyelidikan Komnas HAM menunjukan bahwa dalam peristiwa tersebut terendus indikasi pelanggaran HAM berupa kekerasan seksual, penyiksaan, pembunuhan, hingga penghilangan secara paksa. Berkas hasil penyelidikan itu telah diserahkan ke Kejagung pada 28 Agustus 2018. Namun, sampai saat ini tindak lanjut dari Kejagung belum juga selesai.
5. Kerusuhan Mei 1998
Kerusuhan Mei 1998 terjadi pada 13 - 15 Mei 1998 di Jakarta dan sejumlah kota lain akibat krisis moneter. Peristiwa ini adalah peristiwa kerusuhan yang melibatkan isu SARA. Selain penjarahan besar-besaran, disebut terdapat pula tindak kejahatan seksual terhadap perempuan. Korban dari kerusuhan tersebut didominasi oleh etnis Tionghoa. Komnas HAM menyebut peristiwa tersebut sebagai pelanggaran HAM berat masa lalu. Sampai saat ini, penyelesaian kasus tersebut tidak kunjung menemui titik terang.
6. Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II
Tragedi Trisakti dikenang sebagai peristiwa mematikan yang terjadi pada Mei 1998 jelang lengsernya Soeharto. Pada saat itu terjadi penembakan terhadap warga sipil, terutama mahasiswa. Tragedi ini menewaskan 4 mahasiswa.
Usai kasus Trisaksi, pada 13 November 1998, peristiwa penembakan oleh aparat kembali terjadi kepada mahasiswa yang berdemonstrasi memprotes Sidang Istimewa DPR/MPR dan menolak Dwifungsi ABRI di kawasan Semanggi. Tragedi ini dikenal dengan peristiwa Semanggi I. Menurut data Tim Relawan untuk Kemanusiaan, jumlah korban tewas mencapai 17 orang warga sipil terdiri dari berbagai kalangan, dan ratusan korban luka tembak, dan terkena benda tumpul.
Pada 24 September 1999, rencana pemberlakukan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) kembali memicu demonstrasi besar dari mahasiswa karena dianggap bersifat otoriter. Penembakan terhadap mahasiswa pun kembali dilakukan dan dikenang sebagai peristiwa Semanggi II. Merujuk catatan KontraS menyebutkan 11 orang meninggal di seluruh Jakarta dan sekitar 217 orang mengalami luka.
Komnas HAM telah melakukan investigasi yang selesai pada Maret 2002. Hasil penyelidikan itu telah dikirim ke Kejagung untuk dilakukan penyidikan. Namun, Kejagung beberapa kali mengembalikan berkas hasil penyidikan tersebut. Anehnya, pada 13 Maret 2008 berkas tersebut sempat dinyatakan hilang.
7. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999
Pembunuhan dukun santet adalah peristiwa yang diawali dengan perburuan dan pembunuhan terhadap orang yang diduga melakukan santet atau praktik ilmu hitam. Hal ini dipicu oleh keresahan masyarakat terhadap isu tertentu di Banyuwangi, Jawa Timur. Sejarah kelam ini memakan korban jiwa hingga ratusan orang dan saat ini masih belum menemui titik akhir. Komnas HAM telah selesai melakukan penyelidikan terhadap kasus tersebut. Hasil penyidikan juga telah dikirim ke Kejagung dan Presiden pada 2019.
8. Peristiwa Simpang KKA Aceh 3 Mei 1999
Melansir KontraS, peristiwa Simpang KKA bermula dari kekerasan aparat TNI pada 3 Mei 1999 yang terjadi di Aceh Utara. Saat itu, tentara militer menembaki warga sipil yang berunjuk rasa lantaran ada penganiayaan terhadap warga. Peristiwa ini juga terjadi saat Aceh berstatus DOM. Peristiwa ini mengakibat 23 orang meninggal dunia dan 30 orang luka-luka.
Pada 26 Juni 2016 lalu, Komnas HAM telah selesai melakukan penyelidikan dan menyatakan adanya dugaan pelanggaran HAM berat. Namun, sampai sekarang belum ada pelaku yang ditangkap dan diadili atas peristiwa ini. Bolak-balik berkas antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM masih terjadi, hingga 28 Desember 2018 lalu, Komnas HAM menyerahkan kembali 9 berkas penyelidikan setelah sebelumnya dikembalikan.
9. Peristiwa Wasior dan Wamena 2001
Peristiwa di Wasior, Manokwari, Papua, dipicu oleh terbunuhnya lima anggota Brimob dan satu orang sipil di perusahaan CV Vatika Papuana Perkasa di Desa Wondiboi, Distrik Wasior. Mengutip laman KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), sejumlah pasukan polisi dikerahkan untuk menangkap pelaku yang juga diduga mengambil enam pucuk senjata dari Anggota Brimob yang tewas.
Namun pengejaran pelaku oleh aparat disertai tindak kekerasan terhadap penduduk sipil yang tidak bersalah pada 13 Juni 2001 lalu. Berdasarkan laporan KontraS, tercatat empat orang tewas, satu orang mengalami kekerasan seksual, lima hilang, dan 39 disiksa.
Sementara itu, kasus di Wamena terjadi pada 4 April 2003 yang bertepatan dengan Hari Raya Paskah. Pada saat itu, sekelompok massa tidak dikenal melakukan penyisiran ke 25 kampung di Wamena. Mereka mencoba membobol gudang senjata Markas Kodim 1702/Wamena. Dampak dari peristiwa itu, Komnas HAM mencatat 9 orang tewas dan 38 orang lainnya luka berat.
Tim Ad Hoc Papua Komnas HAM telah melakukan penyelidikan pro justisia terhadap dua kasus tersebut pada 17 Desember 2003 hingga 31 Juli 2004. Namun Kejagung sempat menolak hasil laporan Komnas HAM dengan alasan laporan tidak lengkap.
10. Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003
Mengutip KontraS, peristiwa ini berawal saat Desa Jambo Keupok diduga menjadi poros Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam operasinya, anggota TNI Para Komando (PARAKO) bersama dengan Satuan Gabungan Intelijen (SGI) melakukan tindak kekerasan terhadap penduduk sipil, seperti penangkapan, penghilangan orang secara paksa, penyiksaan dan perampasan harta benda.
Puncaknya terjadi pada 17 Mei 2003 sekitar pukul 7 pagi. Ratusan pasukan militer membawa senjata laras panjang dan beberapa pucuk senapan mesin mendatangi desa Jambo Keupok. Mereka diinterogasi sembari dipukuli dan dipopor senjata. Tidak jarang warga dipaksa mengaku sebagai anggota GAM. Akibat peristiwa itu, KontraS mencatat 16 orang penduduk sipil meninggal dan 5 orang lainnya turut mengalami kekerasan oleh aparat.
11. Pembunuhan Munir
Pembunuhan Munir Said Thalib, seorang aktivis HAM, terjadi pada 7 September 2004. Munir dinyatakan meninggal ketika dalam perjalanan ke Belanda di dalam pesawat Garuda Indonesia. Berdasarkan hasil autopsi, dalam tubuh Munir terdapat racun arsenik.
Dalam kasus ini, setidaknya baru tiga orang yang berhasil diseret ke meja hijau, yakni mantan pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto, yang divonis 14 tahun penjara; mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, Indra Setiawan, yang divonis satu tahun penjara; dan mantan Deputi V BIN, Muchdi Purwopranjono, yang dinyatakan bebas.
Berdasarkan Pasal 78 ayat (1) butir 3 KUHP, penuntutan pidana hapus setelah 18 tahun untuk kejahatan yang diancam pidana mati atau seumur hidup, seperti pembunuhan berencana. Kasus ini pun terancam kedaluwarsa pada tahun ini.
Sampai saat ini kasus pembunuhan Munir masih diproses di Komnas HAM. Kasus Munir belum juga diputuskan sebagai kasus pelanggaran HAM berat dan dalang utama kasus pembunuhan Munir belum juga terkuak.
12. Peristiwa Paniai
Kasus Paniai merupakan kasus kekerasan sipil yang melibatkan anggota TNI dan mengakibatkan 4 orang meninggal dan 21 orang mengalami luka berat akibat penganiayaan. Komnas HAM resmi menetapkan yang terjadi pada 7-8 Desember 2014 ini sebagai pelanggaran HAM berat pada 2020 lalu. Seperti kasus pelanggaran HAM berat yang sudah-sudah, laporan Komnas HAM yang dikirim ke Kejagun, berkali-kali dikembalikan. Komnas HAM mencatat pengembalian itu terjadi pada 19 Maret dan 20 Mei 2020.
HATTA MUARABAGJA
Baca juga: Komnas HAM Segera Tetapkan Kasus Munir Jadi Pelanggaran HAM Berat