TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty International Indonesia meminta pemerintahan mengusut kekerasan seksual dalam Tragedi Kerusuhan Mei 1998.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk Presiden B. J. Habibie pada 23 Juli 1998, menemukan 52 orang menjadi korban perkosaan, 14 menjadi korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 orang menjadi korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 orang menjadi korban pelecehan seksual. Sebagian besar korban kekerasan seksual dialami oleh perempuan dari etnis Tionghoa. Korban kekerasan seksual ini bersifat lintas kelas sosial.
“Kerusuhan, penjarahan, dan kekerasan seksual adalah memori sejarah yang melekat tentang Tragedi Mei 1998. Sayangnya hingga hari ini, belum ada upaya konkret dari negara untuk menuntaskannya,” kata Usman Hamid dalam keterangan tertulisnya, Senin, 15 Mei 2023.
Padahal, ucap Usman, hasil temuan TGPF menunjukkan peristiwa ini terjadi secara sistematis dan terencana. Selain itu, negara juga sudah mengakuinya sebagai pelanggaran HAM yang berat. Namun Usman menyebut pengakuan tidak cukup, tetapi harus ada upaya nyata untuk mengusut tuntas tragedi ini.
Ia menilai kasus ini menimbulkan dampak serius terhadap korban dan warga secara luas dengan memakan korban lebih dari seribu jiwa. Ditambah dengan kekerasan seksual yang sebagian besar ditujukan terhadap perempuan Tionghoa selama kerusuhan Mei 1998. Ia menyatakan kerusuhan ini tidak hanya melanggar hak-hak mereka untuk kebebasan dan integritas fisik, tetapi juga merusak martabat mereka secara emosional dan psikologis.
Amnesty pun mendesak agar para pelaku kekerasan, pemerkosaan dan pembakaran selama kerusuhan tersebut dimintai pertanggungjawaban. Sebab, kata dia, kegagalan negara mengusut tuntas kasus ini akan memperkuat ketidakadilan dan memberikan sinyal negatif bahwa pelanggaran hak asasi manusia dapat dilakukan tanpa konsekuensi.
“Ini tidak hanya melanggar hak setiap warga untuk hidup dengan aman, tetapi juga menciptakan iklim ketakutan dan trauma yang berkepanjangan terutama warga Tionghoa,” ujarnya.
Mencoreng martabat dan kehormatan bangsa
Usman mengatakan kerusuhan 13-15 Mei 1998 dipandang sebagai tragedi nasional yang sangat menyedihkan dan tercela bagi martabat serta kehormatan manusia, bangsa dan negara secara keseluruhan.
Peristiwa-peristiwa sebelumnya seperti Pemilu 1997, penculikan sejumlah aktivis, krisis ekonomi, Sidang Umum MPR-RI 1998, aksi protes mahasiswa yang terus-menerus dilakukan, serta meninggalnya mahasiswa Universitas Trisakti dalam tragedi penembakan, semuanya berkaitan dengan peristiwa tanggal 13-15 Mei 1998.
Pada 23 Juli 1998, Presiden Republik Indonesia B. J. Habibie membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang beranggotakan 17 orang dari gabungan unsur Pemerintah, Komnas HAM, LSM, dan ormas lainnya. Dari proses pengumpulan data dan bukti selama tiga bulan, TGPF merilis Laporan Akhir pada 23 Oktober 1998.