TEMPO.CO, Jakarta - Anggota tim ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Wawan Hari Purwanto, mengaku kesulitan mendeteksi warga negara Indonesia yang hendak bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Karena itu, BNPT belum mengetatkan prosedur keberangkatan WNI ke negara sarang ISIS, seperti Yaman, Mesir, Turki, Yordania, dan Arab Saudi.
"Kami tak bisa melarang kalau dia tidak punya rekam jejak pelanggaran hukum, itu hak asasi untuk pergi ke mana pun," katanya saat dihubungi Tempo, Rabu, 18 Maret 2015. "Buktinya pun belum ada kalau dia mau bergabung dengan ISIS."
Namun, bila ada WNI yang telah terbukti bergabung dengan ISIS, status kewarganegaraannya akan dicabut. Bila tidak mau, ia harus dideportasi. "Itu pun harus melalui proses pengadilan," ujarnya.
BNPT, kata Wawan, bekerja sama dengan perhimpunan pelajar Indonesia di masing-masing negara, polisi internasional, atase pertahanan, Kementerian Luar Negeri negara lain, serta badan intelijen negara lain untuk menghalau WNI yang ingin bergabung dengan ISIS.
Tapi lagi-lagi BNPT menemui kesulitan bila ada WNI yang tidak tergabung dalam PPI. "Kebanyakan dari pelajar yang ada di Timur Tengah. Nah, mereka yang bergabung di ISIS, biasanya tidak aktif di PPI."
Hingga saat ini, warga Indonesia yang terdaftar menjadi anggota ISIS sekitar 514 orang. Wawan meyakini masih ada ratusan orang lain yang tergabung dalam ISIS, tapi tidak terdaftar lantaran sulit dideteksi.
Perekrutan anggota ISIS melalui sistem kekerabatan dan kedekatan emosional antara WNI yang tinggal di Indonesia dan WNI yang tinggal di negara ISIS dan sekitarnya. "Motif jihad dan ekonomi menjadi iming-iming utama," tutur Wawan.
DEWI SUCI RAHAYU