Berbekal ketrampilan yang didapat dari tempatnya bekerja di Unit Bina Industri Batu Mulia (UBIBAM) di Desa Sukodono, Kecamatan Donorojo, Pacitan, Parjianto mulai mengolah batu alam menjadi komoditas bernilai ekonomi tinggi pada tahun 1989. Produk berupa batu alam poles dijual di depan rumah dan tempat usahanya di depan Gua Tabuhan, Desa Wareng.
Pundi-pundi rupiah kian mengalir ke kantongnya. Parjianto kian semangat untuk mengeksplorasi batu alam untuk dijadikan cincin akik. Berkat keuletan itu, Parjianto ditunjuk oleh petugas Dinas Pertambangan Provinsi Jawa Timur untuk ikut kursus di IAGS pada tahun 1994.
Tanpa banyak pertimbangan, Parjianto menerima dan akhirnya berangkat ke Bangkok dengan seorang perajin batu alam asal Malang. “Di sana saya mendapat pelatihan tentang penilaian warna batu selama tiga bulan,” ujar suami dari Diana Setyawati, 34 tahun itu.
Rampung mengikuti kursus yang dibiayai pemerintah, Parjianto pulang ke Pacitan. Tak berselang lama keinginan untuk memperdalam ilmu tentang batu alam kian memuncak. Parjianto memutuskan untuk kembali mengikuti beberapa pelatihan di IAGS pada 1996 dengan biaya sendiri.
“Kurang lebih sampai Rp 200 juta yang saya dapat dari orang tua,” kata Parjianto. Uang sebanyak itu dari hasil penjualan beberapa harta seperti tanah maupun sapi milik keluarganya.
Hasil mengikuti kursus di IAGS, Parjianto memiliki kemampuan mengidentifikasi jenis batu, membentuk dan memoles batu alam hingga memiliki keindahan. Selain itu, dia juga mampu membuat beragam perhiasan dengan bahan dasar batu alam.
NOFIKA DIAN NUGROHO