TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat Tantowi Yahya menyetujui usulan penundaan pembelian alat utama sistem pertahanan (alutsista) dari Brasil. Persetujuan itu didasari sikap pemerintah Brasil yang menolak pemberian surat kepercayaan dari Indonesia.
"Saya sudah berbicara dengan Panglima TNI minggu lalu. Kalau Brasil masih bersikap seperti itu, kita evaluasi kerja sama alutsista," kata Tantowi di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa, 24 Februari 2015. Dia mengklaim rencana ini telah mendapat persetujuan dari Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Panglima TNI Moeldoko.
Menurut dia, sejumlah negara, termasuk Indonesia, menggantungkan persediaan alutsista kepada Brasil. Namun Indonesia bisa melepaskan diri dari ketergantungan tersebut karena anggaran pertahanan dalam negeri cukup besar untuk bisa membeli alutsista dari negara lain, misalnya Ukraina, Rusia, Polandia, Rusia, dan Cina.
Tantowi mengatakan sikap pemerintah Rusia yang menunda penerimaan surat kepercayaan merupakan bentuk intervensi kedaulatan hukum terhadap suatu negara. Menurut dia, Brasil tak berhak mengecam Indonesia untuk membatalkan eksekusi terpidana narkoba karena Indonesia sedang tak berperang melawan negara itu.
"Indonesia tak sedang berperang dengan negara itu dan tak menghukum negara itu, jadi apa yang salah?" kata Tantowi.
Pemerintah Brasil menunda penerimaan surat kepercayaan Duta Besar Indonesia untuk Brasil Toto Riyanto setelah terpidana mati kasus narkoba asal negara ini, Archer Cardoso Moreira, dihukum mati pada 17 Januari 2015. Seorang warga Brasil lain juga ada di dalam antrean pelaksanaan hukuman mati selanjutnya, yakni Rodrigo Gularte, 37 tahun. Indonesia memprotes tindakan pemerintah Brasil itu dengan memanggil pulang Toto.
Menurut Tantowi, sikap Jokowi itu sangat tepat untuk mempertahankan kedaulatan negara. "Mereka tidak bisa melampaui kewenangan otoritas kedaulatan negara lain, seolah-olah dalam sistem kerja sama posisi kita ada di bawah," katanya.
PUTRI ADITYOWATI