Berdasarkan inpres itu, para debitor penerima BLBI dianggap sudah menuntaskan utangnya walaupun hanya membayar 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk uang tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Berpojak pada bukti itulah para debitor yang kasusnya dalam penyidikan Kejaksaan Agung akan mendapatkan surat perintah penghentian perkara.
Beberapa nama konglomerat nomor wahid tercatat mendapat pengampunan itu, seperti Sjamsul Nursalim, The Nin King, dan Bob Hasan. Mereka memperoleh SKL dan sekaligus release and discharge dari pemerintahan Megawati. Padahal, Inpres No 8/2002 yang menjadi dasar Kejaksaan mengeluarkan SP3 bertentangan dengan sejumlah aturan hukum, seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Para Penerima SKL BLBI berdasarkan penandatangan Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) diantaranya adalah Anthony Salim dari Salim Grup ( bekas pemilik Bank Central Asia/BCA). Nilai utangnya kepada pemerintah mencapai Rp 52,727 triliun. Surat Keterangan Lunas (SKL) terbit Maret 2004. Kini BCA dikuasai sepenuhnya oleh Hartono bersaudara, Budi dan Michael.
Sedangkan Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia, menerima kucuran BLBI sebesar Rp 27,4 triliun. Sjamsul sudah melego sejumlah aset kepada pemerintah, di antaranya tambak udang PT Dipasena (laku Rp 2,3 triliun), serta produsen ban Grup Gajah Tunggal, yakni GT Petrochem dan GT Tire (laku Rp 1,83 triliun). Kejaksaan Agung menghadiahinya surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Ada pula Mohammad “Bob” Hasan, pemilik Bank Umum Nasional dengan utang Rp 5,34 triliun. Pengendali Grup Nusamba ini menyerahkan 31 aset, termasuk 14,5 persen saham di PT Tugu Pratama Indonesia. Kemudian, Sudwikatmono dari Bank Surya dengan nilai utang Rp 1,9 triliun, yang mendapat SKL pada akhir 2003. Mendiang Ibrahim Risjad, pemilik Bank Risjad Salim Internasional dengan utang Rp 664 miliar mendapat SKL akhir 2003.
Soal penerbitan SKL itu, Majalah Tempo Edisi 25 Juni 2007 punya kisah yang mengejutkan. Di suatu pagi pada 2002, Kwik Kian Gie yang saat itu menjabat Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional memenuhi undangan Presiden Megawati datang ke kediaman resmi istri mendiang Taufik Kiemas itu di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. Kepada Tempo, Kwik mengaku masih ingat betul momen itu.
Kwik bercerita, jarum jam baru menunjuk angka 07.00. Namun alangkah terkejutnya Kwik sesampainya di sana. Para menteri ekonomi yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjorojakti lengkap berkumpul. “Mirip sidang kabinet,” kata Kwik mengenang. Rupanya, sebuah agenda penting siap dibahas. Megawati tengah menimang-nimang kemungkinan mengeluarkan keputusan release and discharge (R&D).
Kwik, yang sejak Orde Baru banyak mengkritik polah para konglomerat, kontan tak setuju. ”Itu hari Jumat,” ujar saat itu. Dua hari kemudian, ia diundang kembali untuk menemui Megawati. Tapi Kwik tetap berkeras menolak keputusan Megawati. Mega pun kemudian berpesan agar Kwik membicarakannya dengan Dorodjatun. Sampai akhirnya tibalah pembahasan R&D di sidang kabinet terbatas.
Dalam rapat tersebut, Megawati lagi-lagi menyatakan niatnya menerbitkan R&D yang dia warisi dari pemerintah sebelumnya. Kwik tak berdaya. ”Saya hanya bisa ngedumel... ’mati aku’,” ujarnya. Namun Kwik masih mencoba meredam. Kwik angkat tangan dan tetap menyatakan tak setuju. Tapi tekad Megawati sudah bulat. Inpres Nomor 8 Tahun 2002, yang menjadi kado istimewa buat para konglomerat, akhirnya ia teken pada 30 Desember 2002.
MUHAMAD RIZKI | LINDA TRIANITA | TRI YARI KURNIAWAN | BC
Berita Menarik:
Ternyata Hubungan Presiden Jokowi dan Megawati Belum Normal
EKSKLUSIF: Susi Panggil Tomy Winata Disuruh Pulangkan Kapal
Hak Angket Ahok Seperti Telur di Ujung Tanduk