TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bukan perkara mudah berbicara atas nama umat Islam di Indonesia. Dengan jumlah penduduk mencapai 250 juta jiwa, 220 juta jiwa di antaranya merupakan muslim yang memiliki perbedaan aspirasi, pandangan, dan budaya. "(Tapi) kongres ini akan memberikan jalan terbaik jika berbicara dengan baik," katanya dalam sambutan pembukaan Kongres Umat Islam VI di Yogyakarta, Senin, 9 Februari 2015.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, kata dia, perbedaan di antara umat Islam itu sangat kental terlihat. Bahkan, pasca-kemerdekaan, pada zaman Orde Lama, perbedaan itu masih terasa. Namun kini, ia melanjutkan, perbedaan itu hampir tak ada. "Sepuluh partai yang sekarang itu ketuanya haji," katanya.
Ia mengatakan tak perlu terlalu khawatir kalau bicara keislaman di Indonesia kini. Semua partai politik yang ada memiliki corak nasionalis sekaligus religius. Bahkan, saat pemilu, semua partai politik pasti mengunjungi pesantren pada hari pertama masa kampanye. "Semua seperti itu," katanya.
Bahkan, ia mengatakan, seorang politikus berpindah-pindah partai menjadi lumrah. Ada politikus PKS pindah ke Golkar. Atau sebaliknya, Golkar ke PKS juga ada. Bahkan, dia melanjutkan, ada politikus PPP pindah ke mana-mana pun diterima. "Saya ditanya bagaimana politik di Indonesia," katanya di depan peserta kongres. "Ah, paling tiga bulan selesai."
Ia pun memberi contoh persaingan antara calon presiden dan wakil presiden pada pemilu lalu. Setelah pemilu usai, ia kembali akrab dengan Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie. "Makan-makan tak ada masalah," ujarnya. Ia mengatakan itulah ciri khas politikus Indonesia. "Semuanya pedagang."
Islam di Indonesia, kata dia, adalah Islam moderat. "Karena dibawa oleh pedagang," tuturnya. Dengan demikian, sejarah Islam Indonesia adalah damai.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin mengatakan pemilihan Yogyakarta sebagai lokasi Kongres Umat Islam VI tak lepas dari sejarah Kongres II yang dinilai paling monumental. "Karena pernah menjadi tuan rumah kongres yang monumental pada 1945," katanya dalam pidato pembukaan di Pagelaran Keraton Yogyakarta.
Ia mengatakan ada dua kongres yang dinilai paling monumental, yang pertama dan kedua. Kongres pertama berlangsung pada 1938 dan mengukuhkan Majelis Islam A'la Indonesia. Majelis itu merupakan lembaga payung bagi organisasi-organisasi Islam di Indonesia kala itu.
Adapun kongres kedua berlangsung di Yogyakarta pada 1945 yang menghasilkan putusan monumental juga. Peserta kongres memutuskan membentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia, partai tunggal Islam di Indonesia. Pada pemilihan umum 1955, partai ini merupakan salah satu peraup suara terbesar.
ANANG ZAKARIA