TEMPO.CO, Surabaya - Nama Harun bin Said alias Thohir bin Mandar bagi warga Kecamatan Tambak, Pulau Bawean, selalu identik dengan kata pahlawan. Kopral Anumerta Komando Korps Operasi (KKO, sekarang Marinir) mengatakan Harun Thohir memang asli Bawean, tepatnya di Desa Diponggo, Kecamatan Tambak, Bawean, Jawa Timur.
Camat Tambak, Haji Imam, mengatakan Harun dikenal sebagai pemberani sejak kecil. Tidak heran jika kemudian ia memutuskan untuk bergabung di KKO. "Dia memang pemberani sejak kecil," kata Imam pada Tempo, Kamis, 6 Februari 2014.
Harun lahir pada 4 April 1947. Pada 1964, Harun meninggalkan Bawean ketika Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia. Menurut Imam, Harun tidak terlihat seperti orang Bawean lantaran perawakannya yang seperti orang Tionghoa. Dia juga lancar berbicara bahasa Inggris dan Belanda. "Orang Singapura enggak akan menyangka kalau Harun asli Bawean," ujar pria kelahiran 1962 ini.
Warga Bawean tidak mungkin melupakan keberanian Harun ketika peristiwa besar itu terjadi, 10 Maret 1965. Saat itu, Harun bersama dengan anggota KKO lainnya bernama Usman mengebom MacDonald House di Orchard Road yang menewaskan tiga orang. Keduanya lantas dihukum gantung oleh pemerintah Singapura pada 17 Oktober 1968.
Di mata masyarakat Indonesia, khususnya warga Bawean, aksi Harun dan Usman itu dianggap sebagai tindakan kepahlawanan. Riwayat itulah yang menjadi alasan TNI Angkatan Laut menyematkan nama keduanya di kapal perang, yaitu KRI Usman Harun. (Baca: Tragedi di Balik KRI Harun Usman)
Eksekusi pemerintah Singapura itu tentu saja memantik protes masyarakat Indonesia. Bahkan, mahasiswa Indonesia di Jakarta kala itu marah terhadap Singapura. Apalagi tidak sedikit warga Bawean yang tinggal di Jakarta dan Singapura. Namun, aksi protes itu segera dilerai Menteri Luar Negeri Adam Malik.
Kini, ketika Singapura menyatakan keberatan atas penamaan Usman Harun untuk kapal TNI Angkatan Laut Indonesia, warga Bawean pun memprotes. Imam mengatakan seharusnya penamaan itu tidak menjadi masalah. "Amat sangat tidak jadi masalah buat kami warga Bawean. Kami protes kalau Singapura keberatan," kata Imam.
Warga setempat menganggap Harun mengharumkan nama Pulau Bawean. Mereka tidak peduli dengan sikap Singapura. Warga bahkan mengusulkan mengabadikan nama Harun untuk nama lapangan terbang yang dibangun di Bawean.
Pemerintah sudah memberikan gelar pahlawan nasional kepada Harun, berdasarkan SK Presiden RI No. 050/TK/Tahun 1968, tanggal 17 Oktober 1968. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Saat ini hanya adik kandung Harun yang masih tinggal di Bawean. Perempuan bernama Asiyah, 50 tahun, masih tetap mendapat perhatian dari pemerintah. Kata Imam, beberapa waktu lalu, Asiyah mendapat santunan dari pemerintah. Selain itu, kata Imam, ia juga selalu digratiskan naik pesawat dengan tujuan mana pun.
AGITA SUKMA LISTYANTI
Berita Lainnya:
Menko Djoko: Singapura Harusnya Tak Intervensi...
Singapura Protes Nama KRI Usman Harun
TNI AL Tak Gubris Protes Singapura