TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan akan meninjau perjanjian ekstradisi yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dengan Singapura. Ia mengingatkan jangan sampai perjanjian ini lebih banyak menguntungkan Singapura.
"DPR akan melihatnya nanti, apakah perjanjian ekstradisi itu mengulang tidak, di-bundling dengan kata-kata perjanjian lain yang kita tahu di tahun 2007, kalau tidak salah zaman pemerintahan Pak SBY kan juga pernah dibuat perjanjian yang sama," kata Arsul saat ditemui di Komplek DPR RI, Jakarta Pusat, Rabu, 26 Januari 2022.
Pada perjanjian yang lama, Arsul mengatakan perjanjian eksradisi juga terkait dengan perjanjian pertahanan. Saat itu, ekstradisi baru bisa diberikan jika ada pemberian fasilitas wilayah udara Indonesia untuk pelatihan pertahanan Singapura. Saat itu, DPR menolak meratifikasi karena menilai perjanjian itu tidak menguntungkan Indonesia.
Saat ini, perjanjian ekstradisi memang tinggal menunggu ratifikasi dari DPR. Arsul mengatakan DPR siap mendukung perjanjian itu asalkan perjanjian benar-benar berbasis resiprositas, atau ada kemanfaatan timbal balik antara pemerintah Indonesia dan Singapura.
"Serta kemudian tidak dikaitkan dengan perjanjian lainnya yang hanya menguntungkan, katakanlah, Singapura. Saya kira DPR akan ikut mendukung lah dalam proses ratifikasinya itu nanti," kata Arsul.
Perjanjian ini ditandatangani oleh Kementerian Hukum dan HAM disaksikan oleh Presiden Joko Widodo langsung kemarin, di Bintan, Kepulauan Riau. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyebut perjanjian ini diharapkan dapat mencegah dan memberantas tindak pidana yang bersifat lintas batas negara seperti korupsi, narkotika, dan terorisme.
Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura memiliki masa retroaktif (berlaku surut terhitung tanggal diundangkannya) selama 18 tahun ke belakang. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
Selain masa rektroaktif, perjanjian ekstradisi ini juga menyepakati bahwa penentuan kewarganegaraan pelaku tindak pidana ditentukan pada saat tindak pidana dilakukan.
"Hal ini untuk mencegah privilege yang mungkin timbul akibat pergantian kewarganegaraan dari pelaku tindak pidana guna menghindari proses hukum terhadap dirinya,” ujar Yasonna Laoly lewat keterangan tertulis yang dikutip pada Rabu, 26 Januari 2022.