TEMPO.CO, Jakarta - “Bakar, bakar! Ini dia tukang bakar Jakarta!” Celotehan sarkastis itu diterima Gurmilang Kartasasmita pada hari pertama menginjakkan kaki di Rumah Tahanan Militer Boedi Oetomo, Jakarta Pusat, Juni 1974. Seingatnya, celotehan itu keluar dari mulut sebagian anak muda tahanan politik Gerakan 30 September yang lebih dulu menjadi penghuni di sana.
"Meski tak terlalu saya hiraukan, sapaan selamat datang itu cukup membekas karena tuduhannya terlontar dari sesama pesakitan,” kata Miang--panggilan akrab Gurmilang--saat berdiskusi di kantor Tempo, pertengahan November tahun lalu.
RTM Boedi Oetomo merupakan hotel prodeo ketiga, sekaligus terakhir, bagi Miang. Sebelumnya, mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia itu sempat dikerangkeng di Gang Buntu--tahanan milik intelijen di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan--dan Rumah Tahanan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung di Ragunan, Jakarta Selatan. "Total lama penahanan saya 22 bulan. Belakangan hanya dijadikan saksi untuk kasus Hariman Siregar. Saat itu saksi ikut ditahan. Memang aneh,” ujarnya.
Penahanan di Boedi Oetomo juga menyisakan kesan mendalam bagi tahanan politik Malari lainnya, seperti Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Setelah digeledah dan dilucuti--arloji dan ikat pinggang dirampas--di kantor depan rumah tahanan, Dorodjatun digiring melewati lorong gelap. Setelah melalui beberapa kamar tahanan, ia juga mendengar ejekan.
“Nah, ini dia Raiders Orde Baru masuk!” kata Dorodjatun menirukan suara para pengejek, seperti dituturkannya dalam buku Hariman & Malari. Ejekan itu disusul gaduhnya dentangan suara gembok besi yang dibentur-benturkan ke jeruji tahanan. Riuh sekali, padahal saat itu sudah lewat tengah malam.
Pagi 17 Januari 1974, Dorodjatun baru sadar bahwa ia ditempatkan di blok tahanan politik tragedi 1965 yang berasal dari berbagai latar belakang. Mereka campuran sipil dan militer, dari serdadu TNI dan polisi hingga anggota Central Comite dan Comite Daerah Besar PKI. Dorodjatun bebas pada April 1976. “Pesannya mungkin mau meneror kami, para tahanan politik Malari, bahwa sehebat apa pun aksi kami di masa lalu, kini kami bernasib sama dengan para anggota PKI dan anteknya di mata Orde Baru. Kami sudah dianggap musuh,” katanya. (Baca juga: Cerita Bengal Pesakitan Malari)
TIM TEMPO | SANDY INDRA P
Berita terkait
Jakarta Masih Banjir, Apa Penjelasan Jokowi?
Hot Island" Picu Banjir Jakarta
5 Jurus Mengantisipasi Banjir di Jakarta
Ini Sebab Jakarta Utara Relatif Bebas Banjir