TEMPO.CO, Jakarta - Tepat 50 tahun lalu, 15 Januari 1974, Jakarta diamuk massa. Terjadi kericuhan dalam aksi damai mahasiswa memprotes datangnya Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia. Insiden itu dikenang dengan nama Peristiwa Malari, akronim Malapetaka Lima Belas Januari.
Insiden bermula dari mahasiswa yang memprotes semakin besarnya aliran modal asing, terutama Jepang yang dianggap memeras ekonomi Indonesia dan membunuh pengusaha lokal. Demonstrasi menolak kerja sama ekonomi itu diwarnai tindakan anarkis. Belasan nyawa melayang, ratusan orang luka, dan kerugian materi dalam jumlah besar.
Pada hari yang nahas itu, pusat pertokoan yang dikenal dengan Proyek Senen di Jakarta dibakar orang. Lebih dari 100 gedung dirusak. Dalam peristiwa “hari antiJepang” itu, sekitar 800 mobil dan 200 sepeda motor dari Toyota sampai Suzuki dihancurleburkan. Sebelas jiwa melayang, 17 luka parah, 775 orang ditangkap. Sebanyak 160 kilogram emas amblas dari berbagai toko di Jakarta Barat.
Buntut peristiwa Malari 1974, polisi dan tentara menangkap ratusan orang. Ada sekitar 775 orang ditangkap, 50 orang di antaranya pemimpin mahasiswa dan cendekiawan seperti Hariman Siregar, Sjahir, Yap Thiam Hien, Mohtar Lubis, Rahman Tolleng, Aini Chalid, Sarbini Sumawinata, Dorodjatun Kuntjorojakti, Adna Buyung Nasution, Fahmi Idris, Subadio Sastrosatomo, dan Laksamana Muda Mardanus.
Mereka ditahan berdasarkan Undang-Undang Antisubversi. Kepala Penerangan Departemen Pertahanan dan Keamanan Brigadir Jenderal Sumrahadi ketika itu mengatakan pemerintah juga terpaksa menahan pihak yang dicurigai sebagai penggerak peristiwa Malari. Bahkan sejumlah aktivis mantan anggota Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi dicurigai ada di balik para mahasiswa dan pelajar yang bergerak.
Mengutip majalah Tempo dalam Edisi Khusus Malari, yang terbit 13 Januari 2014, para tahanan kebanyakan dibebaskan karena kurang bukti. Yap Thiam Hien dan Mochtar Lubis dilepas setelah setahun ditahan. Adnan Buyung Nasution dibebaskan pada Oktober 1975 bersama sebelas mahasiswa, di antaranya Judilherry Justam, Theo Sambuaga, Bambang Sulistomo, Eko Jatmiko, Yessy Moninca, dan Remy Leimena.
Hanya Hariman Siregar dan Sjahrir dari Universitas Indonesia serta Aini Chalid dari Universitas Gadjah Mada yang disidangkan ke pengadilan. Ketiganya dipasalkan melakukan perbuatan subversi dan makar. Jaksa menggunakan pernyataan Hariman dan Sjahrir dalam sejumlah pertemuan Dewan Mahasiswa UI dan Gerakan Diskusi UI untuk menjerat keduanya sebagai koordinator lapangan dan diduga otak Peristiwa Malari.
Ada sejumlah kejanggalan dalam peradilan. Dalam persidangan, sejumlah saksi menarik keterangannya di berita acara pemeriksaan. Ada yang mengaku tak sadar dan merasa terancam saat memberikan kesaksian. Beberapa yang lain tak tahu keterangannya digunakan untuk menjerat Hariman dan Sjahrir. Jaksa akhirnya bergantung pada informasi intelijen Operasi Khusus.
Anehnya, meski tak cukup bukti menggerakkan kerusuhan, Hariman Siregar dijatuhi hukuman 6 tahun 6 bulan penjara pada 21 Desember 1974. Hakim menganggap kelalaiannya telah berujung pada aksi pembakaran dan perusakan. Siburian kepada Tempo mengatakan alasan itu tak masuk akal. Tudingan hakim seperti menyalahkan pembeli jam tangan di pinggir jalan yang rawan jambret.
“Kelalaian ini sama seperti kelalaian seseorang yang membeli arloji di pinggir jalan, padahal tahu di Jakarta sering ada penjambretan,” kata Siburian, seperti dikutip majalah Tempo edisi 28 Desember 1974.
Selang beberapa bulan kemudian, tepatnya Kamis malam, 12 Juni 1975, giliran Sjahrir yang divonis. Majelis hakim yang dipimpin Anton Abdurrahman Putera menjatuhkan hukuman kepada Mahasiswa UI itu berupa 6 tahun 6 bulan penjara. Sedangkan Aini Chalid, mahasiswa UGM itu divonis bui selama 2 tahun 2 bulan.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | KAKAK INDRA PURNAMA | MAJALAH TEMPO
Pilihan Editor: 50 Tahun Peristiwa Malari, Salah Satu Ikon Demonstrasi Mahasiswa