TEMPO.CO, Blitar - Di tengah mencuatnya wacana nama Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), massa Promeg (Pro Megawati) mendeklarasikan dukungannya kepada Megawati Soekarnoputri. Deklarasi yang diikuti puluhan kader Promeg ini dilakukan di makam Bung Karno, di Kelurahan Bendogerit, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar, Jawa Timur, pada 11 Desember 2013 lalu. "Kami tulus mendukung Bu Mega menjadi presiden," kata Bidho Swasono, Selasa, 7 Januari 2014.
Namun, menurut Bidho, setelah deklarasi dukungan ke Megawati itu, dirinya justru dituduh membikin huru-hara. Dia mengaku sempat diinterogasi oleh sejumlah elite partai banteng gemuk bermoncong putih itu. Mereka mempertanyakan alasan deklarasi tersebut di tengah menguatnya nama Jokowi di kalangan pengurus partai. "Oleh orang-orang Jakarta saya dituduh macem-macem, dituding membuat huru-hara di makam Bung Karno," kata Bidho.
Semua tuduhan itu dijelaskan dengan baik setelah Bidho meyakinkan bahwa tidak ada tendensi apa pun selain perasaan tulus mendukung Megawati. Bahkan Bidho balik menuding orang-orang PDI Perjuangan yang mengusung Jokowi adalah kelompok kutu loncat yang tak memiliki idealisme partai sama sekali.
Menurut dia, figur Megawati jauh lebih pantas dan layak menduduki kursi presiden dibandingkan Jokowi. Meski sejumlah survei menempatkan Gubernur DKI Jakarta itu pada posisi teratas calon presiden, Jokowi dianggap tidak memiliki darah kepemimpinan sebesar Megawati. Selain itu, kata Bidho, bekas Wali Kota Solo itu juga bukan orang abangan yang memiliki roh Marhaenisme.
Karena itu, massa Promeg yang mengaku mendapat dukungan penuh dari kader-kader tua PDI Perjuangan menolak keras wacana pencalonan Jokowi sebagai presiden. Mereka tak menginginkan partai tersebut bernasib sama dengan Partai Demokrat yang mengusung calon presiden berdasarkan popularitas belaka.
HARI TRI WASONO