TEMPO.CO, Yogakarta - Pelukis Djoko Pekik kembali mengecam penyerangan silaturahmi korban peristiwa 1965 di Wisma Santi Dharma, Godean, Kabupaten Sleman, DIY. Pekik menyebut korban peristiwa 1965 mendapat perlakuan tidak adil. Semua aktivitas korban peristiwa 1965 dipandang salah dan membahayakan.
"Acara itu kan hanya membahas soal ekonomi kaum muda," katanya Pekik ketika dihubungi Tempo lewat ponselnya, Senin malam, 28 Oktober 2013.
Menurut Pekik, pembubaran paksa acara di Godean seperti kasus yang menimpa jemaah Ahmadiyah. Mereka juga mendapat kekerasan dari organisasi masyarakat tertentu yang mengatasnamakan Islam. "Kasus ini sama karena sesama warga negara menyakiti," kata Pekik.
Dia juga menyayangkan polisi dan pejabat di tingkat desa yang tidak sigap mencegah aksi pembubaran dan pemukulan peserta silaturahmi korban 1965. Peserta yang mendapat pukulan adalah peserta yang baru datang ke acara itu. "Pejabat desa itu kan harusnya melindungi. Kok ya dibiarkan," kata dia.
Pekik mengatakan telah menghubungi panitia acara silaturahmi korban 1965, Irina Dayasih. Pekik menanyakan kasus itu kepada Iriani sebagai bentuk simpati. Menurut Pekik, Irina Dayasih adalah putri dari Njoto. Ayah Irina ini adalah Wakil Ketua Central Comite Partai Komunis Indonesia.
Pekik adalah anggota sanggar seni Bumi Tarung, bagian dari Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra. Ia pernah menjadi tahanan politik selama peristiwa 1965 pecah. Ia tidak ditahan di penjara Wirogunan, Yogyakarta, seperti yang Tempo beritakan pada Ahad, 27 Oktober 2013.
Pekik ditahan di Benteng Vredeburg Yogyakarta pada 8 November 1965 hingga 1972. Benteng Vredeburg berada di depan Istana Kepresidenan Gedung Agung, Yogyakarta. Bangunan ini juga terletak di ujung Jalan Malioboro.
SHINTA MAHARANI
Baca juga:
Soal Pakaian Khasnya, Ini Kata Prabowo
Prabowo Siapkan Tim Buat Ngetwit
Jokowi Melejit, Prabowo Kritik Lembaga Survei
Prabowo: Hakim Bisa Disogok, Apalagi Wartawan
Belasan Kuda Gagah di Rumah Prabowo