Iklan
TEMPO Interaktif, Jakarta:Sikap kontra kepada hasil revisi UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan ditunjukkan oleh Ketua Badan Pelaksana Harian Yayasan YARSI, Jurnalis Uddin. Hal pertama yang sangat krusial, menurut Jurnalis, adalah pasal yang mengatur tidak bolehnya pengurus yayasan (pendiri, pembina, dan pengawas) mendapat gaji, upah atau honorarium. Ia juga mengatakan pentingnya kejelasan yayasan yang mengelola badan pendidikan untuk mengikuti kebijakan UU Yayasan atau UU Badan Hukum Pendidikan. Hal ini dikatakan Jurnalis kepada Tempo News Room, Selasa (2/9). Jurnalis berpendapat, revisi UU Yayasan mengadopsi kebijakan charity dari luar negeri akan sangat sulit jika diterapkan di Indonesia, karena biasanya pendiri yayasan berlatar belakang beragam. "Dari 2.300 perguruan tinggi yang ada, belum ada yang pendirinya adalah orang yang sangat kaya dan melimpahkan pengelolaannya kepada profesional," ujarnya. Ia juga mencontohkan, biasanya kiai dalam suatu yayasan tidak hanya sebagai pengelola, tapi juga sebagai pemilik. Berkaitan dengan revisi UU Yayasan yang tidak membolehkan rangkap jabatan, Jurnalis melihat ini akan menimbulkan keresahan dalam yayasan. Karenanya, menurut Jurnalis, UU harus diubah karena pasti akan menimbulkan kegoncangan. "Kalau ada pendiri yang ternyata profesional, harus dapat gaji," ujarnya.Menurut Jurnalis, seharusnya badan pengurus bisa mendapatkan upah gaji tetap yang berasal dari unsur pendiri atau pembina. Selain itu kalau pendiri adalah profesional, mereka bisa saja jadi pengurus, dengan syarat statusnya sebagai pembina nonaktif. "Kan tidak mungkin mereka mengawasi dirinya sendiri," ujarnya. Jurnalis juga membandingkan dengan Muhammadiyah yang merupakan perserikatan, bukan yayasan. Mereka, kata Jurnalis, tidak memikirkan ada imbalan dari pekerjaannya. "Walaupun itu dinilai tidak manusiawi, karena orang kerja setengah mati tapi tidak dapat apa-apa," ujarnya. Jurnalis menyetujui kalau dividen tidak boleh dibagi-bagi, melainkan untuk diinvestasikan kembali. Selain itu, ia juga tidak keberatan dengan pasal-pasal yang mengatur harus ada pengumuman di media massa tentang bantuan yang diterima oleh yayasan. "Sebagai negara, kalau ada yang bantu diam-diam, itu bisa dianggap subversi." Masalah kedua, adanya kerancuan dari konsekuensi pelaksanaan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan pendidikan yang dikelola oleh masyarakat berbentuk badan hukum. Kerancuan ini terkait dengan tanggung jawab kepada menteri pendidikan nasional atau menteri kehakiman dan HAM. Karenanya, Jurnalis mengusulkan yang penting dalam revisi UU Yayasan adalah dimasukkannya poin tentang 'yayasan yang mengelola pendidikan tunduk dalam Badan Hukum Pendidikan'. RR. Ariyani - Tempo News Room