TEMPO.CO, Jakarta - Pengunduran diri Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 mendorong sejumlah tokoh muda dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) untuk menggagas pendirian sebuah partai politik. Bersama kolega mereka dari aktivis dakwah kampus, KAMMI beranggapan sudah saatnya gerakan dakwah ditransformasikan ke dalam partai politik.
Dalam buku Dilema PKS: Suara dan Syariah, Burhanuddin Muhtadi menulis, para aktivis KAMMI 1998 percaya bahwa partisipasi dan kontribusi dalam sistem demokrasi akan mendatangkan banyak keuntungan untuk gerakan dakwah Islam.
"Tapi beberapa aktivis lain menolak ide itu. Menurut mereka, gerakan dakwah kampus cukup menjadi organisasi non-politik," tulis Burhanuddin dalam buku yang kata pengantarnya ditulis oleh Presiden PKS Anis Matta itu.
Berdasarkan survei internal antarkader KAMMI, Burhanuddin menambahkan, mayoritas aktivis setuju mendirikan partai. Akhirnya, pada 20 Juli 1998, berdirilah Partai Keadilan (sekarang Partai Keadilan Sejahtera).
Meski sejumlah tokoh KAMMI berkontribusi penting dalam pembentukan PK, organisasi KAMMI tetap berdiri terpisah, tanpa hubungan formal dengan partai.
"PK dan KAMMI hanya mengakui mereka mempunyai hubungan ideologi, budaya, dan sosial," tulis Burhanuddin.
Meski relasinya tak formal, faktanya, ikatan antara PK dan KAMMI amat kasat mata. Bahkan KAMMI kerap dianggap sebagai sayap mahasiswa PKS. Banyak aktivis KAMMI merintis karier politiknya di PKS.
"Sampai sekarang, alumni KAMMI pun memegang posisi kunci dalam struktur partai di DPP dan cabang," tulis Burhanuddin.
CORNILA DESYANA