TEMPO.CO, Jakarta - Instruksi presiden tentang Peningkatan Efektivitas Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri dinilai bukanlah solusi untuk menuntaskan konflik agraria. "Inpres hanya menuntaskan konflik di permukaannya saja," ujar pakar hukum agraria Universitas Gadjah Mada (UGM), Maria S.W Sumardjono, di Jakarta, 7 Februari 2013.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Senin 28 Januari 2013 menandatangani Inpres Nomor 2 Tahun 2013 tentang Peningkatan Efektivitas Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri.
Inpres itu menyatakan kepala daerah memiliki wewenang untuk meminta Kepolisian dan TNI jika ada ancaman. "Inpres hanya terpusat di kabinet dan kepala daerah. Memangnya bagaimana cara menteri membantu mengatasi konflik?" ucap Maria. Untuk itu, kata dia, Inpres Kamnas perlu direvisi.
Revisi diharapkan berisi informasi yang sifatnya empiris mengenai tingkat urgensi dari adanya peraturan, di antaranya memuat apakah terkait dengan eskalasi konflik atau tidak.
Menurut Maria, penyelesaian konflik tak dapat diatasi dari sisi keamanan. "Pendekatan jangan hanya keamanan, masih ada masalah lain, misalnya berhubungan dengan transmigrasi," ucapnya.
Melalui Inpres Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri tersebut, kepala daerah diminta tidak ragu-ragu untuk bertindak mengatasi konflik komunal di daerahnya. Menurut Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, pada akhir Januari lalu, tiap kepala daerah memiliki tugas untuk mengenal karakteristik daerah masing-masing.
Terdapat peta konflik dan penanganan dini bila ada konflik. "Potensi konflik mulai dari agama, konflik antar etnis, residu politik di pilkada, pemahaman terhadap aturan, politik uang, kecemburuan sosial, agraria, ketimpangan ekonomi hingga yang sepele seperti perkelahian pelajar atau pemuda yang menyebabkan perkelahian antarkampung seperti di Sumbawa," kata Djoko.
SATWIKA MOVEMENTI