TEMPO.CO, Depok --Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Depok Fakhrurrozi mengeluhkan mahalnya biaya kuliah Fakultas Kedokteran di Indonesia. Guna mengatasi kesenjangan itu, pihaknya meminta agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan yang baru mengatur bahwa biaya pendidikan kedokteran ditanggung negara.
Mahalnya biaya kuliah kedokteran mengakibatkan kesenjangan karena yang mampu mengenyam pendidikan kedokteran selama ini didominasi oleh mereka yang kaya. "Selama ini ada kesenjangan bagi di Fakultas Kedokteran. Yang bisa masuk hanya orang kaya karena mahalnya biaya," kata Fahrurrozi usai acara Fun Bike di Balai Kota Depok, Minggu, 20 Mei 2012.
Menurut Fakhrurrozi, dulu hampir semua orang bisa mendapat kesempatan kuliah di Fakultas Kedokteran karena biayanya masih terjangkau. Namun, saat ini biaya yang mencapai ratusan juta mengakibatkan profesi dokter jauh dari harapan masyarakat ekonomi bawah. "Solusinya pemerintah pusat bisa memberikan biaya bagi mahasiswa yang masuk Fakultas Kedokteran," katanya.
Fakrurrozi mengatakan, dengan demikian, lulusan pendidikan kedokteran yang dibiayai oleh pemerintah nantinya bisa mudah ditempatkan di sejumlah daerah. Apalagi, saat ini masih terjadi ketidakmerataan dokter di Indonesia. "Kalau biaya dari pemerintah, penempatan dokter itu bisa dengan mudah diatur," katanya.
Menurutut Fakhrurrozi, fakta saat ini menunjukan para lulusan kedokteran lebih memilih bekerja di kota besar. Hal itu karena mereka telah mengeluarkan biaya tinggi dan rasa mengabdi kepada pemerintah berkurang. "Itulah kenapa saat ini dokter menyerbu kota besar dan menghindar tugas dari daerah terpencil," katanya.
Fakrurrozi mengatakan berdasarkan ketentuan IDI, rasio pelayanan dokter idela adalah satu orang dokter untuk 2.000 jiwa. Sementara, saat ini masih banyak daerah yang tidak memenuhi rasio itu. Bahkan di daerah terpencil seperti Kalimantan dan Papua masih sangat kekurangan dokter."Apalagi, banyak dokter spesialis atau lainnnya memilih untuk tidak menjadi PNS," katanya.
Senada, Sekretaris IDI Depok Hidayat mengatakan untuk mengambil fakultas kedokteran mahasiswa bisa menghabiskan ratusan juta. Untuk biaya masuk saja mereka bisa membayar sampai Rp 250 juta, belum lagi biaya SPP dan praktek. "Jadi tidak heran jika hanya dinikmati oleh kalangan tertentu," katanya.
Menurut Hidayat, memang ada beberapa mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari daerah masing-masing. Namun, setelah berprofesi dokter mereka enggan kembali ke daerah asalnya. "Bagi daerah yang memiliki APBD banyak tidak masalah, tapi yang APBD kecil akan kesulitan mendapat dokter," katanya.
Sementara untuk kota Depok sendiri, kebutuhan dokter di setiap wilayahnya sudah sesuai dengan rasio pelayanan. Saat ini terdapat 1.500 dokter di Depok. Dari jumlah itu, sekitar 400 orang merupakan dokter spesialis. "Kebanyakan dokter spesialis ini enggan memilih untuk menjadi PNS," ujar Hidayat.
ILHAM TIRTA