TEMPO.CO, Lampung - Kontroversi keberadaan patung Zainal Abidin Pagaralam berakhir sudah. Ribuan orang beramai-ramai merobohkan patung setinggi 10 meter. Aparat keamanan tak bisa mencegah patung yang terbuat dari perunggu itu menghujam tanah. “Ini bentuk kemenangan rakyat. Pemerintah harus mampu menangkap aspirasi rakyat,” kata Zailani dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi, Senin, 30 April 2012.
Perobohan patung yang dibangun menelan anggaran Rp 1,5 milyar itu sebelumnya diwarnai kerusuhan. Warga mengamuk dan merusak sejumlah kantor pemerintahan Kabupaten Lampung Selatan. Mereka juga memblokir Jalan Lintas Sumatera yang menghubungkan Bandar Lampung–Bakauheni selama lima jam lebih.
Aksi amuk massa itu dibalas aparat keamanan dengan menembakkan gas air mata. Belasan warga dan polisi terluka terkena lemparan batu dari kedua belah pihak. Bukannya surut, massa terus bertambah hingga kerusuhan terjadi di tiga kecamatan seperti Ketapang, Penengahan, dan Kalianda, Lampung Selatan.
Awalnya aksi yang hanya melibatkan sekitar seribu orang yang berasal dari LMND, Forum Rakyat Lampung Selatan, dan lima masyarakat adat dari lima Bandar Marga Lampung Selatan berjalan damai. Kerusuhan terjadi karena massa mulai kesal saat mengikuti dialog dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lampung Selatan. “Bupati dan pejabat tidak mau datang untuk berdialog dengan warga. Mereka terlalu arogan,” kata Zuhri, warga Ketapang yang ikut dalam aksi itu.
Patung kakek Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza akhirnya tumbang setelah ditarik dengan seutas tali baja. Reruntuhan patung berbobot empat ton itu jatuh berdentum disambut sorak sorai ribuan warga. Begitu roboh, warga langsung memenggal kepala patung dan mengirim ke salah satu tokoh pendukung setia Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza.
Setidaknya ada empat alasan kenapa warga begitu membenci patung monumen yang berdiri di tepi Jalan Lintas Sumatera, yaitu sosok Zainal Abidin Pagaralam bukan tokoh masyarakat Lampung Selatan meskipun dia merupakan bupati pertama mereka. Selain itu, patung itu dinilai warga sebagai simbol nepotisme, terlalu menghambur-hamburkan uang rakyat. “Dan keberadaan patung yang berada di arah kiblat Masjid Agung Kalianda sangat mengganggu warga ketika salat,” kata Zuhri.
Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza menyayangkan aksi anarkistis warga penentang patung itu. Dia mengatakan pihaknya sudah mulai berdialog dengan sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat Kalianda. “Tapi di tengah dialog warga justru melakukan perusakan fasilitas milik pemerintah dan merobohkan patung itu. Pasti ada provokator sehingga rakyat begitu marah,” kata Rycko Menoza.
Dia berharap polisi bisa menangkap para penggerak massa dan dalang di balik aksi amuk massa itu. Setelah aksi perobohan patung, dia akan berupaya mendekati warga untuk kembali membangun Lampung Selatan. “Kami akan melakukan pendekatan terhadap mereka. Banyak agenda pembangunan yang akan dijalankan, bukan hanya soal patung,” katanya.
NUROCHMAN ARRAZIE