TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turut merasakan tingginya aksi kekerasan, main hakim sendiri, konflik komunal, hingga premanisme yang terjadi akhir-akhir ini. "Ini ekses (dampak) negatif dalam reformasi dan demokrasi yang kita jalankan. Ini ekses (dari) cara-cara keliru menjalankan kebebasan," kata Presiden di hadapan sekitar 1.500 anak tentara di Asrama Haji Pondok Gede, Jumat, 24 Februari 2012.
Menurut SBY, setelah era reformasi, tuntutan hak asasi manusia, kebebasan berserikat berkumpul, kebebasan pers, desentralisasi otonomi daerah, sebagian besar telah membawa kebaikan. Namun, ada beberapa yang melemah, di antaranya solidaritas dan rasa persaudaraan serta kesatuan di antara warga negara. "Saya mengajak generasi muda berjuang sekuat tenaga mengubah keadaan yang tidak baik itu. Setelah 13-14 tahun reformasi berjalan tidak membawa kebaikan, tentu harus diubah sehingga semuanya konstruktif," katanya.
Presiden menambahkan, sejarah selalu melakukan koreksi. Dari sejak kemerdekaan, penggunaan sistem parlementer menjadi presidensil, kemudian dari otoritarian menjadi reformasi dan demokratisasi besar-besaran. Kini setelah lebih dari 10 tahun reformasi, mulai terasa perubahan yang baik.
Tetapi kini mulai ada penyimpangan penggunaan kebebasan sehingga terjadi ketidaktertiban sosial, aksi kekerasan, dan penggunaan hak dan kewajiban kelewat batas. "Karena itu, seluruh rakyat dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab kita koreksi seperlunya. Tidak perlu koreksi sejarah yang seringkali harganya mahal," kata dia.
SBY pun mengajak rakyat, juga jajaran kepolisian dan aparat keamanan, untuk menghentikan, mengantisipasi dengan benar, dan menyelesaikan secara tuntas aksi kekerasan yang terjadi di berbagai tempat. "Saya juga berharap semua pihak bisa berbuat untuk mencegah dan menanggulangi aksi kekerasan," katanya.
SBY meminta agar tuntutan hak dan kebebasan tidak berlebihan sehingga membuat negeri tidak aman, tidak tertib, dan tidak stabil. "Dan pada tingkat masyarakat mengganggu kehidupan mereka sehari-hari, tidak tenteram karena dibayang-bayangi tindak kekerasan dan main hakim sendiri. Padahal, itu bukan tujuan melaksanakan reformasi dan demokrasi," katanya.
Beberapa aksi kekerasan yang terjadi belakangan ini antara lain kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan dan pertentangan organisasi masyarakat FPI di Kalimantan Tengah karena cara dakwah yang dinilai dekat dengan kekerasan. Selain itu, penangkapan John Kei beberapa waktu lalu juga memperlihatkan masih tingginya premanisme di Indonesia.
ARYANI KRISTANTI