TEMPO Interaktif, Denpasar - Sengketa pemberitaan antara Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan Koran Bali Post mulai diadili di Pengadilan Negeri Denpasar, Kamis, 15 Desember 2011.
Sidang yang dipimpin ketua majelis hakim, Amzer Simanjuntak, ini tidak langsung memasuki pokok perkara. Kedua belah pihak diberi tahu bahwa mereka memiliki kesempatan untuk melakukan mediasi selama 40 hari. “Kalau bisa berdamai berarti tidak perlu disidangkan lagi,” kata Amzer.
Adapun untuk hakim perdamaian, Amzer menyebut nama Ketua PN Denpasar Jhon Pieter, yang akan memimpin proses mediasi. Kuasa hukum Pastika, Robert Khuana, maupun kuasa hukum Bali Post, Nyoman Sudiantara, tidak mengajukan usulan siapa hakim mediasi.
Usai persidangan, Robert menyatakan pihaknya membuka lebar peluang untuk melakukan perdamaian. Syaratnya, pihak Bali Post mengakui adanya kesalahan dalam pemberitaan dan mau meminta maaf. “Itu perdamaian yang berkeadilan menurut kami,” ujarnya.
Ihwal tuntutan yang mencapai Rp 150 miliar, menurut Robert, merupakan ganti rugi materiil karena nama baik Pastika sebagai gubernur tercemar oleh pemberitaan Bali Post.
Adapun penggunaan hak jawab, kata Robert, sudah tidak relevan karena kesalahan yang dilakukan Bali Post sangat mendasar karena tidak ada fakta seperti yang diberitakan. Hak jawab digunakan jika ada pelanggaran etika dalam kerja jurnalistik. “Jadi ini ranah yang berbeda,” ucapnya.
Pihaknya juga berharap pihak Bali Post tidak terus melakukan pemberitaan yang menyudutkan gubernur bila menghendaki adanya perdamaian.
Sementara itu, Sudiantara juga berharap masalahnya bisa diselesaikan melalui proses mediasi. Meski demikian, Bali Post akan mengacu pada penggunaan hak jawab sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. “Kami membuka peluang kawan-kawan pers untuk ikut berperan dalam proses ini,” ujarnya.
Dalam kasus sengketa pemberitaan antara Pastika dan Bali Post, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar menegaskan perlunya kedua belah pihak memanfaatkan peluang mediasi. “Acuannya adalah penggunaan hak jawab. Bila tidak, kami khawatir kemerdekaan pers akan terancam,” tegas Sekretaris AJI Denpasar Komang Erviani. AJI juga akan berinisiatif untuk menggandeng organisasi wartawan di Bali untuk mengupayakan mediasi.
Gugatan Pastika berawal ketika pada 17 September 2011, terjadi bentrokan dua Desa Adat di Kabupaten Klungkung yang menewaskan 1 orang warga. Sehari setelah peristiwa tersebut, Gubernur Pastika melakukan peninjauan ke lokasi bentrok serta para korban.
Pada 19 September 2011, Bali Post memberitakan pernyataan Gubernur Pastika yang memerintahkan pembubaran Desa Adat di Bali. Namun Pastika merasa tidak pernah mengeluarkan pernyataan tersebut.
Atas pemberitaan tersebut, Pastika telah melaporkannya kepada Dewan Pers. Setelah melalui proses pemeriksaan, Dewan Pers menyatakan kesalahan Bali Post hanyalah karena tidak melakukan recheck keterangan narasumber. Dewan Pers menyatakan Bali Post harus melayani hak jawab. Namun, karena merasa tidak puas, Pastika mengajukan gugatan perdata ke pengadilan.
ROFIQI HASAN